Kamis, 16 Agustus 2012

Sepenggal Bias-7

Aku mungkin tidak tahu. Dia sengaja lupa. Dia membujuk matahari mundur dan berhenti. Ini masih tentang kehidupan yang terus mencari kayu untuk bahan bakar. Ya, kala lelah mulai mendobrak pintu, aku tak ingin tahu.

Hari telah sore. Sebentar lagi senja, kemudian malam. Aku mengangguk kala dia bicara tentang topi hitam yang suatu saat aku pakai di sebuah perayaan musim. Mengapa dia mundur demi ketakutan pada ular-ular kuning? Aku enggan percaya. Aku masuk di lipatan purnama. Bertahan menyempurnakan pedih agar dia berdiri. Dia tidak murka padaku. Namun, aku menyentuh lewat samudera dan dia masih tak mau tahu.

Wahai para pemuja langit, aku langsungkan pengkerdilan semesta. Aku birukan sungai lagi. Aku tidur saja di pembaringan angin. Mengulang sisa remah matahari. Sudahlah, aku tarik selimut sampai di tanah.

Mungkin titik bisa menjawab kebuntuan. Hidup di dalam mesra jiwa yang enggan peduli tentang letih. Segera pulang, lelakiku. Aku menunggu. Aku punya titik. Jangan bawa koma, apalagi tanda tanya.


*terinspirasi dari hujan malam-malam lalu. Dosa dan aku tahu.

Sekalipun setumpuk carut meresap ke dalam benih di cawan luka, aku sudahi nila yang setubuhi janji. Aku mengerti betapa hangat sang murai mencoba mencinta bumi.




Bandung, 29 Juni 2010

Tidak ada komentar: