Kamis, 16 Agustus 2012

Sepenggal Bias-8

Pengakuan yang sempat duduk di titik demi titik mungkin segera berhenti. Adakala waktu menjadi mesin judi dan aku ikut bising di balik meja. Aku berteriak, namun kadang mengeluh dan melenguh. Oh, jangan bawa gaun itu di depanku sebelum aku katakan amin.
 
Kau boleh menutup kaca-kaca yang dipasang di seluruh sisi, namun cermin itu senantiasa mengikutimu. Masuk ke musim ketujuh. Ah, ini angkaku, bukan? Kita mencangkul tanah-tanah resah yang mulai ditentang kemarau.
 
Duhai, apa yang yang kau pikir tentang hidup? Tentang purnama kesebelas. Tentang dosa. Tentang kerangka jiwa yang mencium tusukan duri yang merajuk kala hujan?
 
Aku malas mengulang senar-senar gitar yang berdenting. Ya, aku siapkan lisan. Kita sajikan hati untuk belajar makna agungnya kedewasaan. Kita bukan pecinta semu. Inilah sandiwara.

 
*terinspirasi dari hujan dan dini hari kala saya menutup pintu dan dia pergi.

Jangan lupa untuk mengambil puisi-puisi yang aku siapkan di lemari besi. Aku sempat berbisik dalam rima. Hanya kau yang aku beri tahu sandinya. Buka perlahan dan bawa pulang. Suatu saat mungkin kau bisa tersenyum sambil membacanya menuju tengah malam dalam senyap dan  kau tahu aku ada disana.



Bandung, 10 Juli 2010

Tidak ada komentar: