Kamis, 22 Agustus 2013

Perjamuan-2 (di tengah hujan tipis)

Ini memang terjadi. Akhir-akhir ini kita tak lagi bisa berbagi canda. Aku jatuh dalam keadaan dimana banyak hal menjadi neraka. Tiap harimu, kasih, aku begitu ingin memangku seluruh asa yang sempat ikut serta kala kita pertama bertemu. Aku tak lagi bisa tersenyum bebas. Aku bahkan tak nyaman saat mengingatmu. Bukan. Bukan aku tak mencintaimu. Justru aku mencinta penuh utuh. Namun, hari-hari kita yang tak lagi sama membuatku segera ingin melewati dengan tergesa agar perih ini tak lagi ada.

Pernahkah aku memintamu menggenggam tanganku? Ingat-ingat. Tak pernah, bukan? Di saat jarak menjadi tak sungkan ikut menari di sela obrolan yang seringkali menjadi pertengkaran, aku tak lagi sanggup membuat definisi cinta itu sendiri. Yang aku tahu, aku hanya ingin kita tak lagi begini. Mari kita bicara dari hati dan hilangkan gelisah. Ya, kita tahu ini menyiksa. Namun, mengapa kita tak berguru pada anak-anak kecil yang berlarian di jalan raya? Di tengah polusi dan kendaraan yang mereka tahu bisa mati dengan mudah, mereka tak pernah peduli dan tetap bisa terbahak saat kawannya terjatuh. Katanya, dia tak hati-hati. Tapi, lihatlah, mereka saling mengulurkan tangan dan meniup luka agar segera pergi. Tidakkah kita sanggup belajar dari keluguan yang indah itu?

Sekali saja. Buang seluruh keraguan itu dan genggam tanganku. Setidaknya jika ini menjadi pertama dan terakhir, kita bisa tahu bahwa kehangatan itu pernah ada. Jangan antar aku pulang. Aku bisa sendiri. Tak perlu membuat pedih lebih menjadi saat aku malah melihat bayangmu pergi menjauh. Lebih baik aku saja yang lakukan itu karena aku tak ingin melepasmu di tengah hujan tipis yang membuatku merasa bersalah. Keputusan kita untuk mengakhiri kembali terulang. Namun, kali ini jangan berharap kembali. Kita pernah bersama. Itu saja.


*terinspirasi oleh lagu Pink – Just Give Me a Reason untuk sebuah persiapan perpisahan salah satu teman baik saya. Semoga catatan kecil ini mengantarkan pada sebuah kata sepakat di hati. Peluk penuh cinta saya dari jauh.    

 
Bandung, 10 Agustus 2013

Kamis, 15 Agustus 2013

Perjamuan-3

Bagimu, seruan menuju tempat sunyi itu butuh perjuangan berat. Bagiku, menuju senyap yang gagap untuk kita berikan nama di baliknya mengalahkan seluruh keringat yang sempat membuat kita lupa bahwa ada kesementaraan.
Kita pernah bersama dalam gelegak detak menuju sebuah kata lulus, bukan? Iya, aku dan kamu dalam ruangan yang katanya mengantarkan kita pada titik paripurna. Januari lalu kita tidur di kamar sempit dan kasur yang tak nyaman. Dengan bau lembab kamar. Dengan makanan seadanya. Dengan lelah yang bahkan kita tak tahu harus mengaduh pada siapa.
Saat itu kau banyak bergurau dengan logat khasmu. Kita saling mengejek. Bahkan kau sempat menangis dan kita lalu menjadi gagu.
Beberapa waktu lalu, kau seringkali mengabari keadaan sulit yang dialamatkan pada pahlawan yang kau beri nama ayah. Kini, penuh perih aku pun berpuisi dari kejauhan. Selamat tinggal untuk ayahmu dan katakan padanya, kelak kita bertemu di sana.

Bandung, 15 Agustus 2013

 
*untuk Merry Chornelia. Semoga pelukan dari jauh bisa menemani dengan secangkir teh hangat. Turut berduka cita. Semoga bumi menimang sang ayahanda.

Rabu, 14 Agustus 2013

Sepenggal Bias-30

Papua punya cerita. Di dalamnya ada kita. Menghisap pelan perdu dan menyulapnya menjadi rindu. Tepat saat kita sama-sama memangku peluh yang mengeluh jauh. Aku ingin kau sekejap saja tahu bahwa rasa menggumpal menjadi senyawa dan menisbahkan cinta pada luka yang sempat terbiarkan.
 
Aku ingin menjilid asa dan mengumpulkannya di kertas-kertas malam, lalu menyodorkannya kepadamu. Suatu saat kau tersenyum sembari menahan sesak dan membuat ringkasan cerita yang sempat kita lagukan.
 
Aku tak henti menulis bait demi bait yang masih untukmu dan berontak pada hasrat untuk selalu ingin memiliki. Kau barangkali juga tak pernah tahu persembahan agung yang dulu aku harap ada perjamuan kudus setelahnya, memahat selaksa patung puisi yang tak terhenti.
 
Aku tahu kau terjatuh kini, lelakiku. Aku terlebih dahulu dan menghirup pedihnya hingga hilang kendali. Kita sama-sama paham makna mengelabui perih, bukan? Namun, kita lupa dusta diri tak terperi.
 
Jangan terburu untuk tidur, lelakiku. Saat kau terbangun, aku ingatkan ada dia yang tertatih berjalan dengan tawa riang walaupun popoknya basah. Aku kehabisan kata. Aku terlampau menohok. Aku lebih dari sekedar menunggu. Semoga tak bertemu windu.

 
Bandung, 10 Juli 2013

Selasa, 13 Agustus 2013

Sepenggal Bias-29

Barangkali begitu, lelakiku. Saat mereka menepuk nyamuk, tidur berselimut sarung compang camping, dan sesak karena asap knalpot-knalpot pengunjung malam. Sama-sama kita mengutuk negara yang mencekoki takdir. Walaupun kita tak beramah tamah dengan nyamuk dan bisa membeli kenyaman dengan selimut hangat tanpa harus sesak dengan asap knalpot.
 
Sebagian dari mereka pulang terhuyung atas gemerlap ibu kota. Muntah dekat orang-orang yang menyapu jalan di pagi buta. Selamat tidur, kekasih. Mungkin esok kita berbagi caci di bantal yang sama. Masih tentang negara yang senang bercanda tentang darah.

 
Bandung, 26 Mei 2013

Senin, 12 Agustus 2013

Sepenggal Bias-28

Apa itu di balik gusarmu waktu lalu? Aku ingin pulang menuju tempat yang kau sebut dengan surga, lelakiku. Mengasuh sejumlah harap yang sempat membatu. Di sana kita mengundang rasa dan tak perlu lagi saling mengajari tentang bahagia. Dalam namamu, aku tersipu malu meredam tawa.
 
Lalu kita membisu atas diri yang lupa pada secarik persembahan hati yang luput dari cemooh masa. Aku hanya ingin kau mengerti bahwa cinta enggan menunggu dan rindu itu penuh angkuh.
 
Mari kita bicara dengan nada yang mencantik tanpa harus ada luka yang memaksa ikut serta, lelakiku. Kau dengan baju hangatmu dan aku dengan jaketku. Bisa saja ada dingin yang meradang kala tatap bertemu tatap. Bisakah kau lepaskan keraguan yang selama ini memasung ikrar di syair kita yang menjadi prasasti di langit kamarmu? Ini lagu yang sama-sama kita tunggu.
 
Puisi itu mengalun dalam riuh serangga malam yang menunggu pagi. Kau baru saja tersadar bahwa hujan menimbun rasa yang entah menyulut apa. Lalu, bisakah kita memudar dalam jeram yang tak pernah dinamai sejenis luapan apa pun? Aku ingin kau pelan-pelan mencintai kemilau jubah agung dan topi suci yang sebentar lagi aku pakai untukmu agar usai seluruh pinta.

 
Bandung, 20 Maret 2013

Minggu, 11 Agustus 2013

Sepenggal Bias-27

Lantas aku ingin berpikir sembari duduk di pinggir jalan dengan bau knalpot. Tentang kamu. Tentang marahnya kita pada ribuan semangat yang jumawa berdiri antara resah atas nama adat yang salah kaprah.

Lalu aku kembali. Menyusur trotoar masih juga dengan bau kendaraan yang membuat sesak. Tak hanya tentang kota, tapi juga kamu. Di kota ini kita melucuti satu per satu khayalan tentang bau amis dosa.

Oh, ya, dosa. Sehina itu barangkali gambaran rasa yang melempar sepi tepat ke dada. Bolehkah sedikit saja aku membela diri dan mengatakan bahwa aku tak peduli pada kecaman mereka, lelakiku?

Kita tahu bahwa sejauh sunyi yang mengabdi pada ilalang, aku selalu jatuh cinta pada seluruh getar dalam nadimu. Aku tak kehilangan cipta untuk terus menuliskanmu pada serat kayu yang menua. Merindu. Bahkan selalu gusar dalam riuh gemuruh mengingatmu. Jikapun mungkin, boleh meregangkan perih sebentar saja. Sesama rasa yang tahu jerit, aku ingin pulang menuju dekapmu yang agung.


Bandung, 25 Februari 2013

Sabtu, 10 Agustus 2013

Sepenggal Bias-26

Fatwaku tentang rindu. Menggali tanah mimpi yang sempat mengubur secawan cerita. Milikmu, keabadian, aku pulang.
 
Ingin mengusik cara kita bercinta. Aku ingin lagi. Kau tak usah pergi.
 
Dalam dekap
Dalam nadir
Dalam malam
Dalam serunai
Dalam gita
Dalam nada
Dalam gempita
Dalam bingkai
Dalam pesona
Dalam perih
Dalam makna
Dalam hujan
Dalam dahaga
Dalam jiwa
Dalam kamu
 
Merindu itu seperti terik. Mengeringkan dedaunan yang mendedah tanya. Seperti dingin. Membekukan ranting yang menyusuri nadi. Aku ingin kamu.
 
Jika memang peron bergeliat di ujung gelap, pelan-pelan saja kau dekati aku. Berharap tak pernah ada yang tahu. Kita tak boleh tergelak. Kita hanya harus pura-pura bodoh. Ah, nampaknya ketololan melekat pada cercaan mereka, lelakiku. Kita harus berlari dan sembunyi tanpa lupa mengendap-endap. Kita harus rela melepaskan jubah-jubah asa yang disemai bersama.
 
Baiklah, inikah yang mereka sebut kekalahan di akhir? Aku ingat juga kita pernah jatuh dan berlutut. Tertimpa semak belukar yang menggunung dan tumpukan ilalang. Aku ingin kamu.

 
Bandung, 13 Februari 2013

Jumat, 09 Agustus 2013

Gara-gara Radio

Ingin merona depan wajahmu dan berkata, aku selalu jatuh cinta!

Mari kita urai rindu tanpa harus terjebak pada temu!


 
Baru beberapa hari ini saya memutuskan untuk mendengarkan radio lagi. Saya pulang ke rumah sekadar membawa radio yang ayah saya berikan empat belas tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun. Saya memiliki banyak cerita di balik radio ini. Bukan. Bukan tentang pertemuan konyol yang mengantarkan saya pada ciuman pertama bertahun-tahun yang lalu. Saya merindukan satu hal; keintiman.

Namanya Zep. Entah apa yang ada dalam pikiran saya ketika menamai radio ini. Yang jelas saya senang menamai barang-barang yang saya cintai dengan nama laki-laki. Haha!

Tadi malam saya mendengarkan radio dan merasa dihantam dengan satu cerita masa lalu. Hampir lima tahun lalu dan saya masih merasa menjadi bagian dari cerita dungu ini. Saya tahu, ini perkara penerimaan. Iya, menerima sesuatu di luar kendali. Jauh dari yang diinginkan. Saya tak lebih dari perempuan yang masih sibuk menerka, tapi juga tak kuasa jika harus mengulang cerita lagi bersamanya. Bagaimana mungkin saya bisa melawan ledakan rasa? Kadang letupan kecilnya membuat saya ingin masuk dan membakar diri hidup-hidup.

Mahasiswa bisa menjadi sarjana dalam waktu lima tahun. Bayi bisa mulai masuk TK dalam lima tahun. Seorang anak bisa menjadi kakak dalam jangka waktu lima tahun. Pasangan suami istri bahkan bisa punya anak lebih dari tiga selama lima tahun. Karir bisa melesat atau jatuh dalam lima tahun. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam waktu lima tahun. Saya? Bahkan dengan membayangkan cerita manis bersamanya saja, saya tak berhenti jatuh cinta! Lima tahun berlalu dan sekarang malah menjadi-jadi.

Saya sudah tidak lagi bersamanya sejak empat tahun lalu. Berdoa untuknya dan mendoakan dirinya baik-baik saja adalah hal yang tidak pernah saya lakukan. Dendam? Bukan. Entah. Rasa bukanlah bisnis yang bisa dikalkulasi tentang untung-rugi. Bukan hitungan dengan rumus eksakta. Saya tak ingin dia sengsara, tentu. Namun, untuk meminta dia bahagia di sana dengan segala biru laut Indonesia tengah pun saya tak sanggup.

Baiklah, Tuan. Saya ingin kita sama-sama paham bahwa saling membebaskan dengan melepaskan senyum itu bukan hal yang mudah. Yang saya tahu, senyum saya masih muncul ketika saya ingat masa-masa bodoh dan indah itu. Bukan karena saya belajar memaafkan masa lalu, apalagi membebaskan.

 
*terinspirasi dari lagu Brian Mcknight – 6, 8, 12. Lagu tentang miniatur lima tahun.

Senin, 11 Februari 2013

Sepenggal Bias-25

Hampir lima tahun pertemuan itu. Menyisir seluruh angkuh yang linglung. Gugup. Ingin mencium wangimu yang samar kala aku baru bangun dari mimpi penuh gigil. Di sampingmu mengeja hari.

Barangkali lelahmu berujung menyapih rindu. Mengungkap pilu di Sabtu biru. Akui saja kita sempat menjadi pecundang waktu. Untuk kesekian kalinya aku harus memburu. Enggan seberangi samudera.

Bagaimana jika kelak kita bertemu lagi di saat banyak hal mengumpat pedih, lelakiku? Apakah giliran kita mempecundangi masa dengan bercinta tanpa harus merasa kalah sambil liar melempar baju ke lantai?

Ingin bercinta denganmu lagi dan tidur lelap setelahnya. Menyiasati malam yang jalang. Mendengar hela nafas yang lembut. Melatih diri menjadi dewasa dengan santun puisi-puisi pagimu. Tak perlu usai.

Bahkan tidak untuk kali ini. Mencaci rindu. Menguburnya dalam-dalam. Mengikuti langkahnya. Merindu itu seperti kamu. Datang dan pergi. Membawa kejutan. Menyumpahi kesendirian yang khidmat.


Bandung, 8 Februari 2013

Perjamuan-1

Ingin duduk berdua denganmu. Bicara tentang malam dan mengusik bintang. Jangan terdiam terlalu lama. Kopimu segera dingin. Ada tatapan lelah dan marah di matamu. Jangan menyerah. Kau belum kalah.
 
Aku tahu rasa pahit tersiram pekat dan menenggelamkan dia yang harus aku panggil ibu. Jauh sebelum kau tahu, aku merasakannya lebih dulu. Di perayaan agung cintamu, bisakah kau simpan pedih sebentar saja?

 
Bandung, 10 Januari 2013