Ini memang terjadi. Akhir-akhir ini kita tak lagi bisa berbagi canda. Aku jatuh dalam keadaan dimana banyak hal menjadi neraka. Tiap harimu, kasih, aku begitu ingin memangku seluruh asa yang sempat ikut serta kala kita pertama bertemu. Aku tak lagi bisa tersenyum bebas. Aku bahkan tak nyaman saat mengingatmu. Bukan. Bukan aku tak mencintaimu. Justru aku mencinta penuh utuh. Namun, hari-hari kita yang tak lagi sama membuatku segera ingin melewati dengan tergesa agar perih ini tak lagi ada.
Pernahkah aku memintamu menggenggam tanganku? Ingat-ingat. Tak pernah, bukan? Di saat jarak menjadi tak sungkan ikut menari di sela obrolan yang seringkali menjadi pertengkaran, aku tak lagi sanggup membuat definisi cinta itu sendiri. Yang aku tahu, aku hanya ingin kita tak lagi begini. Mari kita bicara dari hati dan hilangkan gelisah. Ya, kita tahu ini menyiksa. Namun, mengapa kita tak berguru pada anak-anak kecil yang berlarian di jalan raya? Di tengah polusi dan kendaraan yang mereka tahu bisa mati dengan mudah, mereka tak pernah peduli dan tetap bisa terbahak saat kawannya terjatuh. Katanya, dia tak hati-hati. Tapi, lihatlah, mereka saling mengulurkan tangan dan meniup luka agar segera pergi. Tidakkah kita sanggup belajar dari keluguan yang indah itu?
Sekali saja. Buang seluruh keraguan itu dan genggam tanganku. Setidaknya jika ini menjadi pertama dan terakhir, kita bisa tahu bahwa kehangatan itu pernah ada. Jangan antar aku pulang. Aku bisa sendiri. Tak perlu membuat pedih lebih menjadi saat aku malah melihat bayangmu pergi menjauh. Lebih baik aku saja yang lakukan itu karena aku tak ingin melepasmu di tengah hujan tipis yang membuatku merasa bersalah. Keputusan kita untuk mengakhiri kembali terulang. Namun, kali ini jangan berharap kembali. Kita pernah bersama. Itu saja.
*terinspirasi oleh lagu Pink – Just Give Me a Reason untuk sebuah persiapan perpisahan salah satu teman baik saya. Semoga catatan kecil ini mengantarkan pada sebuah kata sepakat di hati. Peluk penuh cinta saya dari jauh.
Bandung, 10 Agustus 2013