Kamis, 15 November 2012

Sepenggal Bias-24

Kali ini aku menyerah. Kau boleh menarik nafas lega.

Lama sekali aku ingin menulis cerita tentang selaksa asa di cawan mimpi yang sanggup diterjemahkan surau tiap kali aku mengingatmu. Aku hanya ingin kau mengangguk dan tak perlu bicara. Aku ingin merasukimu dengan secangkir luka sisa malam itu. Kita terburu menyelesaikan bait kidung yang terlampau agung menyelinap di tengah ruangan. Kita enggan memerdekakan rindu, lelakiku. Kita asyik saling menukar duga. Berharap akan ada mereka yang memberi takaran-takaran omong kosong tentang keterlambatan kita. Aku ingin kita berlabuh setelah menggauli gelombang tiap samudera. Akan ada kau dan aku saja. Barangkali kita lupa akan batas waktu.

Jika kita luapkan jalur-jalur nahkoda, barangkali lain cerita. Kita tak tahu arti kata jengah yang dilempar ke muka, saat empat tahun lewat tak terkira binal. Aku ingin menggabungkan wangi dupa beserta rupa yang kau simpan di sudut paling ujung. Tepat dekat puntung rokok yang ikut setiba kilau yang kau cipta akhir tahun itu. Aku ingin kamu.

Aku bisa saja menemukanmu lagi dengan seonggok kerentaan di kereta atau di taman dengan sebatang tongkat. Kau akan mendapati bahasa yang hilang, saat aku tak berhenti berpuisi tentang rindu yang masih untukmu. Satu hal yang kau akan mengerti, rasa ini tak bertempat. Kau tak pernah kehilanganku karena tak sekejap pun aku beranjak dari kursi rodaku. Untukmu, lelakiku, aku enggan pergi.

Aku tahu cara menghentikan degupku sendiri, namun kau butuh mengajariku mengayun musim untuk melambaikan tangan padamu. Aku mungkin tertipu hujan. Ah, kita mencermati rintik dengan hela nafas yang malu mengakui jerit, bukan? Aku ragu ini hasrat yang aku pilih sendiri.

Kali ini aku menyerah. Kau boleh menarik nafas lega.


Bandung, 2 Oktober 2012

Senin, 01 Oktober 2012

Sepenggal Bias-23

Aku pernah bicara tentangnya yang tak 'kan pernah terdera. Selalu bagian dari derai.
 
Ah, ya, dia yang selalu mengawali prosa yang serba manis itu aku kira.
 
Sebagian darinya aku simpan dekat pintu agar selalu temani sebelum aku berangkat membuka helai-helai keajaiban baru.
 
Tentunya tempat yang paling bagus yang kamu punya selain di serambi hati, barangkali?
 
Sebagian lagi aku simpan di atas bantal agar aku tak pernah mencumbu sepi sebelum tidur.
 
Aku ingin punya banyak kantung. Yang besar. Super besar. Yang bisa menampung semua tentang dia, kapan pun aku mau.
 
Sebagian kecil aku dudukkan dekat jendela. Sebagian yang lain aku tidurkan di samping boneka kecilku.
 
Dia akan selalu aku taruh ke segala penjuru tempat. Agar kananku, dia. Kiriku, dia. Depanku, dia. Belakangku, juga dia.
 
Suatu saat kau tahu sebagian-sebagian itu terangkai dalam cerita manis yang nanti aku ceritakan pada bintang paling terang yang kita sempat namai bersama, juga pada ledakan bintang yang kelak membuatku sejajar denganmu.
 
Asalkan tentang dia, apapun yang sebagian-sebagian itu jadinya memang cuma satu. Manis.
 
Kau pernah ada. Ya, aku katakan itu mantap. Aku mencintaimu semudah ini.
 
Dia memang paling ajaib. Datangnya seperti penyusup yang paling pandai sejagat raya. Diterobosnya serambi hati yang tadi.
 
Aku mencintaimu dengan segala aksara yang terhampar. Aku mencintaimu dengan seluruh kata yang berderet acak. Aku mencintaimu seperti mereka yang tahu wangi bunga-bunga mekar.
 
Mencintai dia bisa dengan cara apapun. Bahkan dengan cara yang paling sederhana. Sekerling mata, itu cinta.
 
Aku tahu. Jika ini tentang arah yang lupa jalan pulang, aku masih enggan menepi. Bukan karena kecewa. Bukan karena perih. Namun, karena aku tak mengerti tentang batas yang linglung aku sampaikan pada laut. Dekat samudera itu kami berpuisi tentang bidadari dan gradasi warna langit. Kau pasti tahu Sentani.
 
Aku menggumam tentang citraku sendiri. Dalam malam yang mengingatkanku pada aroma tubuhnya yang dulu aku semprotkan sedikit parfum, aku terduduk rapuh. Ini bukan tentang batas. Ini tentang aku yang selalu tahu caranya menyampaikan rindu. Kini aku merindunya sepedih rotan yang dulu kami sambungkan dari Bandung menuju Jayapura.
 
 
 
*terima kasih tak terkira untuk Lestyana Purwanda untuk kesediaannya berprosa malam ini. Catatan kecil sederhana untuk ulang tahun yang tertunda. Selamat ulang tahun, kawan! Semoga terus menyempurna menuju cahaya cinta-Nya Yang Agung! Tuhan memberkati!
 
Bandung, 2 Oktober 2012

Rabu, 29 Agustus 2012

Sepenggal Bias-22

Aku duduk di sini. Memangkas ilalang kecil-kecil. Mengitari naluriku sendiri. Lalu, menyusun sebagian remah hati yang tercecer sejak ada dia dalam rahimnya. Ada hasil nafasmu yang tersenggal, peluhmu yang deras, dan erangannya yang liar. Ada desahannya yang tersimpan rapi di bantal itu. Ah, bantal. Kita sering menghabiskan waktu di bantal yang sama, bukan? Bantal yang sempat kau beri nama dengan dungu itu.

Aku menggambarkan seluruh cerita jalang itu. Kisah yang kau tawarkan padaku untuk aku ludahi! Jika malam pun menjadi bungkam atas segala tanda kecil lelah manusia usai bercinta, aku robek seluruh bingkainya dan melemparnya ke sudut pintu! Menyakitimu, aku tak kuasa. Demi malammu yang penuh dengan degup cepat. Untuk tiap detik persenggamaan manusia yang lupa semesta. Demi seluruh bongkahan yang dulu pernah ada. Ingin menunjuk mukamu dan meletakan seluruh asa yang utuh lalu jatuh di sebuah panggilan ayah!

Permisi, adakah cinta di sana? Adakah rasa di sanubari saat perlahan kau menenggelamkan kepalamu di sela nafasnya yang memburu? Adakah aku yang malah tercermin di wajahnya itu? Saat dorongan tubuhmu semakin cepat dan keringat yang membaur, tak sekejap pun aku sudi mengakuinya. Bukan aku yang berbaring lunglai saat kau menghembuskan nafas panjang sebagai tanda kebinalan itu usai. Ya, binal! Aku ucap binal karena ada dua hati yang terduduk tolol di tepi tempat tidur. Sakit, lelakiku. Tahukah kau arti kata itu?

Sebentar lagi dia lahir ke bumi, bukan? Jangan pernah bacakan puisiku padanya, ingat itu. 


Bandung, 30 Agustus 2012 

Sepenggal Bias-21

Aku ingin menanggalkan biru dalam hempasan dekap yang terbaring di sepinya langitmu. Menjawab seluruh kicauan yang selama ini bicara tentang kita. Meninggalkan tema-tema usang yang melapuk di kaki sungai. Aku ingin mengalungkan seluruh emosi padamu, lelakiku.

Kita seringkali lelah memuja mimpi-mimpi kecil yang ternyata berakhir dengan sebuah pelukan. Di sini berhenti menyiram bunga-bunga asa yang letih menggauli tiap hentakan waktu. Aku ingin kamu, sahut seorang gadis di cermin dengan suara sayup. Ah, permainan dadu hanya sementara. Aku kalah.

Simpan saja cinta pada desahan ranting yang menyambutmu minggu lalu di utara. Andai saja aku benar-benar peduli, barangkali kita tak akan pernah berpikir untuk mengurai jerit. Pelan-pelan kita masuk ke dalam celotehan konyol itu. Menyakitkan saat ada dia di sampingmu untuk sekadar berkata selamat pagi. Kita terengah terhalang waktu.

Aku membaca garis-garis imajinasimu yang tergambar jalang saat kau berpeluh di sampingnya. Bah! Jangan sampai aku meneruskan cuplikan itu, lalu mengutukmu tak henti! Aku tahu bahwa aku kalah.

Kau tahu rasa ini menjagamu dari geliat perih yang biasa kita lewati bersama. Ya, aku berjalan sendiri kala itu, sedangkan kau melangkah pergi.

Dimana hati saat kau bahkan tak mengunjungi deretan sesak yang aku simpan tak beraturan di langit-langit? Aku melukis rindu sendiri di sela rintih. Siapa yang membuatmu paham arti sebuah penantian? Dia atau mereka yang hanya ingin tahu dan tak pernah peduli? Aku tak ingin menggali ciuman yang berhenti karena usai ikut duduk di sela-sela kita.

Seharum ingatan, kau tahu apa itu mencinta. Kita sempat bersama beberapa waktu. Tubuh indah yang tercerap mata sesekali mengaku ingin pulang. Kau tak di sana.

Keajaiban termanis berhenti di ujung pintu. Kau tahu apa itu merindu? Mengucapkan namamu di sedetik menuju tidur. Melafalkannya pada pesan singkat untuk kawanku. Mencuri wangimu yang diam di meja tempatku berpuisi. Sampaikan padanya yang sebentar lagi menjadi ibu, aku tak ikut serta kali ini. Habis cerita.


Bandung, 24 Agustus 2012

Kerikil Hitam-10

Seperti Natal atau Sabatmu, aku termangu. Andai bisa terdiam sendiri dalam surga kecil dan tak perlu merasa diperbudak keadaan, aku enggan pulang. Sejak dulu aku benci mengalah. Benci satu kata pecundang yang seringkali diputar di kepala, kekalahan. Boleh jadi ini benturan keras yang muncul berulang.

Siapa dia? Perempuan yang sempat menyimpanku di rahimnya selama sebelas bulan.

Berbuatlah seibu yang kau mampu dan jangan kotori dengan cela sedikit saja. Anggaplah aku bergurau. Meracau. Namun, tahukah kau? Mencercamu, aku tak kuasa. Meski hati mengutuk-ngutuk, aku bungkam dan menulisnya menjadi puisi. Ah, tidak. Aku tak berpuisi pada-Nya dan menyematkan namamu di sana. Aku bahkan enggan begitu. Tahukah kau tentang jengah di ubun-ubun kala kau lupa pada dirimu?

Siapa kau? Perempuan yang sempat menyimpanku di rahimnya selama sebelas bulan.

Aku menyusuri sungai dan mencari-cari kerikil kecil. Ada pecahan kaca di sana. Kau yang melemparnya. Sebut saja maumu dan aku ikuti. Namun, jangan pernah memintaku lagi untuk itu. Aku tak sedang menggurui. Aku hanya memberikan sesuatu yang barangkali orang lain tak sanggup melakukannya padamu. Aku tahu, hidupmu penuh dengan goresan abstrak tak beraturan.

Namun, bisakah kau tak ulangi seruan laknatmu yang selalu terucap di tiap gundah? Ah, kau tak tahu apa itu ibu. Hangat dan wangi rahimmu tak seperti kata-kata durjana yang sering kau teriakan saat merasa sepi! Panggil aku sang durhaka sesuka hatimu. Aku tak ‘kan gusar sebab letupanku tak di sana. Ledakanku ada saat kau menghilang lagi dan lagi, kemudian aku harus mencarimu. Berhentilah menjadi ratu dan simpan telunjukmu di balik selendang kesombonganmu yang menjijikan itu.

Siapa kau? Perempuan yang sempat menyimpanku di rahimnya selama sebelas bulan.

Seperti Natal atau Sabatmu, aku termangu. Enggan pulang sebab aku benci mengalah. Kau yang ajarkan itu dulu, bukan?


Bandung, 18 Agustus 2012

Sepenggal Bias-20

Kau sedikit terlambat, sesalku. Aku sangat terlambat. Kita memang terlambat mengumpulkan lagu rindu yang menumpuk di ujung pintu. Mempersembahkan seonggok jerami kering untuk sekadar menambatkan mimpi pada sisa-sisa angin. Kita enggan memalingkan wajah pada neraca gundah yang menyentuh sekujur tubuh.

Kita terlambat menuai janji lalu. Ah, kita sibuk menerka. Mereka-reka. Membaca garis-garis takdir. Seolah dungu menemukan titik akhir, kita hanya bermain dengan hujan. Kita gagap menghitung keniscayaan yang penuh ilusi tanpa kisi-kisi. Kita hanya mampu marah tanpa meledakannya pada sumbu di sudut sana, lelakiku.

Dari kejauhan menggoda-goda, berceloteh manis. Siapakah pemilik senyum itu?


Bandung, 22 Agustus 2012

Jumat, 17 Agustus 2012

Sepenggal Bias-19

Ada pesan singkat yang masuk saat aku tidur. Semalam tak tidur memang melelahkan. Tadi pagi aku habiskan untuk membaca tulisan beberapa orang teman. Aku bahkan tak sadar bahwa hari telah gelap. Terbangun pun karena gaduh penghuni lantai atas dengan nyayiannya. Aku membuka ponsel. “Is there still a lot of birds outside? Mother Theresa said, life’s like a song, just sing it. Si mie mie dor de tine”, begitu isinya. Masih kau. Perkataan Bunda Theresa itu sempat aku kirimkan pagi, sebelum kau berangkat kerja dulu. Burung-burung pun masih senantiasa gaduh dekat jendela, lelakiku. Tiap pagi dan sore mengisi ruang setengah kosong di sudut sana. Sudut hati yang belum tahu muara.

Sejenak aku terdiam. Tak terduga seluruh cerita yang masih linglung mencari titik akhir. Sebentar lagi usiamu tiga puluh tahun. Mereka-reka ulang tiap masa yang sesungguhnya. Hati-hati melangkah. Tubuh jiwa barangkali butuh istirahat sekejap dalam prahara. Ingin mencabut akar pahit dari hatimu hingga tak tersisa, lelakiku. Tunggulah sebentar, aku sedang mencari tahu caranya. Sudikah?

Merasuk ke noktah paling dalam semacam onak paling jalang. Emosi kita seringkali larut mengurai seluruh genderang keributan yang rusuh menemui akhir dan kita pun selalu menahannya keras. Merindu bercengkerama dan melukis langit. Menemukan bintang paling terang dan menamainya satu. Sekecil apa pun rasa yang tersisa di ujung senja, aku masih sanggup memungutnya rapi.

Apa kabar Sentani, lelakiku? Bersamamu mengangkangi geliat resah yang belum usai. Kekuatan ini muncul saat aku memegang pena dan menuliskan namamu di tiap helainya. Melewatkan separuh putaran malam yang mengunjungi rumahmu di kejauhan. Aku di sini, kau di sana. Merambah seluruh hasrat untuk menarikmu kembali untuk bercinta hingga pagi. Menjadi manusia yang menantang derai tawa. Lihat ujung jariku. Arahnya menunjukmu. Menyambutmu di tepi bukit. Aku menunggumu dengan sebatang rokok di tangan. Bisakah kau berlari lebih cepat?



Bandung, 16 Agustus 2012

Sepenggal Bias-18

Wajahnya menua, badannya berubah kurus. Dengan jaket hitam yang di dalamnya terdapat t-shirt biru, celana jins, dan topi cokelat. Potongan rambut dan wangi parfum yang masih sama. Ketukan pintu pagi sekali memaksaku mengenali tubuh pria itu. Ternyata itu kau.

Aku tergesa mencuci muka. Sesekali membentak diri sendiri untuk bangun, saat menggosok gigi sekedar mempercayai sesuatu yang tengah terjadi.

Aku membuatkanmu teh karena kau tak suka kopi, bukan? Canggung ikut serta di suara-suara burung dekat jendela. Tak lama, aroma teh dan kopi tercium. Pukul enam lebih dua puluh menit. Pagi sekali seperti kebiasaanmu dulu yang mengejutkan. Hanya saja ini bukan Sabtu. Baru hari Selasa.

Kita terdiam. Tiga puluh menit yang kaku berlalu perlahan. Barangkali kita masih saling tak menyangka. Aku mengirimkan pesan singkat pada seorang kawan. Ya, kawan yang tahu betul cerita kita. He looks older, begitu isinya.

Kau duduk gusar. Aku bergeser menjauh dan menyalakan rokok. Kita bicara sedikit tentang Gerard, anjingku. Gerard sudah menyatu dengan bumi hampir dua tahun yang lalu. Kau senang bermain dengannya dulu. Kau selalu membiarkannya menaiki tubuhmu dan menjilati wajahmu. Setelah itu, aku akan menyuruhmu mandi. Membersihkan bajumu yang dihinggapi bulunya yang cokelat keemasan. Menyiapkan bajumu yang lain dari lemari karena kau menyimpan cukup banyak baju di tempat tinggalku, bukan? Itu dulu. Empat tahun yang lalu.

Tiga puluh menit selanjutnya kita mulai tertawa. Namun, kau tahu cara menghentikannya. Kau mulai menatapku penuh. Aku barangkali bodoh karena mendadak bertingkah seperti perawan tahun ‘60an yang tak bisa didekati laki-laki. Aku gugup. Ya, hanya kau yang bisa membuatku bertingkah sedungu itu. “Si mie mie dor de tine”, begitu katamu. Kalimat dalam Bahasa Rumania yang dulu sering aku dengar kini terulang lagi. “Apa kabar, Burt?”. Lagi-lagi kau meniru suara Ernie. Ah, Sesame Street yang kita cintai itu selalu ikut hadir di tiap percakapan yang tak penting, bukan? Kau tahu cara mencabik dalam senyuman, lelakiku.

Aku masih gugup, aku ulangi itu! Aku tersenyum bukan hanya menutupi kegugupan tolol ini, namun juga karena menahan sesuatu yang entah harus aku namai apa. Seperti hentakan cepat, aku menahan nafas, kala aku merasakan bibirmu di bibirku. Ciuman sekilas yang seolah mematikan lampu kamar dan menyeret kita ke petak kuning dan jingga. Kamarku yang dulu. Kita belum lupa akan rasa yang dikira mati. Oh, tidak. Terendap itu bukan mati, lelakiku. Aku merasa utuh, namun tak berdaya. Ada yang mengusik diri. Meluap. Menghantam dahsyat. Perih. Tapi ada pula percik bahagia yang di sana. Hanya kau. Lagi-lagi kau yang sanggup membuatku mengaduk seluruh rasa.

Lalu, kedua kalinya aku merasakan bibirmu lagi. Kali ini terasa lebih hangat. Tentu aku membalasnya. Tak lama kita pun berbaring bersama di tempat tidur. Memandangi langit-langit. Sesekali tersenyum dan mengerling genit. Ketika aku menghadapkan tubuhku dan mendekatkannya padamu, pikiranku pergi sejenak. Apakah ini kau yang dulu berpuisi dalam malam dan mengirimku lagu-lagu sambil kita berbincang di telepon? Keningmu yang lebar, bibirmu yang tipis, hidungmu yang mancung, tatapmu yang teduh. Semua masih sama.

Kau mengusap rambutku. Mencoba menerka. Seperti tak bosan melakukannya, kita saling memagut. Lagi dan lagi. Hanya saja kali ini tak ada baju yang terlempar ke lantai. Hasrat manusiawi, luapan rasa yang masih ada atau gabungan keduanya, aku tak peduli. Masih pagi, lelakiku. Baru saja pukul delapan lebih empat puluh menit. Kau berkata sengaja cuti lebih awal dan hari ini kau hanya ingin menemuiku. Aku ingat, dulu aku sempat tak ujian dan kau tak bekerja hanya karena kita ingin bermanja. Orang boleh berkata bahwa kita bodoh, namun kita tak peduli, bukan? Ini cerita milik kita, bukan mereka.

Jam sepuluh lebih empat puluh delapan menit. Pesan singkat kawanku itu baru berbalas. Entah apa dalam pikirnya. Dia tak menanggapi serius. Namun, satu hal yang membuatku tertegun saat salah satu isinya tentang keheranan, “lagian kalian ini ya. Kagak ngarti gue. You love him, he loves you back equally, jadi ngapain jujumpalitan masuk labirin?? Kagak ada bypass apa?” Andai bisa semudah itu, lelakiku. Kita sama-sama tersenyum membacanya. Entah apa makna senyum itu. Kau hanya berkata, “she doesn’t need to understand”. Ada nada tinggi dalam pengulangan tanda baca. Ada tiga tanda tanya di pesan itu.

Aku tahu kau tak tidur semalam. Sesekali matamu sayu dan suaramu parau. Perlahan kau tertidur. Memelukmu dalam hangat mentari pagi. Ah, suasana ini begitu mencuri hati. Sering sekali kita lakukan itu dulu. Ini surga kecilku. Dia tahu apa yang tak terucap. Dia melihat sepasang manusia yang terpisah empat tahun lalu. Kemudian bertemu. Mencicipi sebentar nuansa baru ruangan yang sejuk dengan matahari pagi yang malu-malu dan burung gereja yang gaduh. Menggabungkan wangi parfum. Menyatukan rasa dalam cumbuan hangat. Menidurkan sekejap ilusi dan mimpi buruk.

You look older. Ada apa dengan ceritamu belakangan, Tuan? Adakah hati di sana? Nafasmu terasa lagi di wajahku saat kau tertidur. Detakmu jelas di lenganku yang memelukmu. Kali ini tak erat. Masih ingatkah kau dengan prosaku dulu? Ah, kau tepati janjimu rupanya. Empat tahun berlalu dan kini kau di sampingku. Jika pulang nanti, sampaikan puisiku pada ibumu. Semoga dia tahu makna menunggu. 


*terinspirasi ketukan pintu pagi hari dan catatan kecil yang ditemani lagu cantik Coleske - My Only.

Tulisan sambutan untuk puisi agung karya Sitok Srengenge :

Jika tak mampu kau ucapkan, tulis aku
Mungkin sebagai surat cinta yang menyeru rindu
Atau alasan bagus untuk mangkir dari kerja
demi percumbuan kudus pada paha Selasa
Sebab bila di pagi itu meriwis gerai gerimis
suara-suara yang dipingit langit pun terurai desis
Sebagian dari mereka mungkin gema erang Hawa,
kala Adam memagut buah terlarang kali pertama


Terima kasih tak terkira untuk salah satu teman baik saya, Sari Amelia, atas kesetiaannya pada cerita kami selama empat tahun ini. Tuhan memberkati!


Bandung, 14 Agustus 2012  

Sepenggal Bias-17

Khutbahku tentang rindu. Menelisik di tiap degup yang sembunyi di balik keluh. Seringkali merindu deru nafas itu. Berpeluh mengejar nadi yang malu-malu mengucap desah. Kau perlahan menyingkap gaun yang gamang terlempar di lantai. Menuju sudut-sudut kala remang mulai terasa akrab. Ada hangat yang senantiasa hadir saat kita saling memagut. Menorehkan kata yang kaku di ujung bibirmu.

Bagaimana denganku? Aku menukil tiap kancing kemeja hitammu. Sesekali terburu. Kadang-kadang melambat. Kita beradu di tawanan dewa dewi. Duhai, jika pun rasa tak kenal usai, mengapa kita tak hendak bermuara dalam sebuah cumbuan hangat semesta?

Tatapanmu. Kita roboh dalam geliat sanubari yang tak bosan menggetarkan rindu. Kau menggelinjang di antara musik kesekian haluan jalan kita. Ada tetes suci berakhir di sana. Aku beranjak menuju tepi tempat tidur. Mengambil pelan titik-titik harap yang sedari dulu kita gambarkan di kaki langit jingga. Menggenggam erat seluruh kata yang tertahan di pelupuk matamu. Kita akan bersahabat dengan jarak yang sementara, lelakiku. Ini hanya bagian kecil dari selaksa cerita yang kita kumpulkan saat tongkat itu menghujam tanah dan kita merenta.

Lebih baik tarik selimutmu. Aku masih berbaring di samping. Mencoba menidurkan segala tangis dan menggantikannya dengan kedipan-kedipan baru hasil dingin yang dicipta malam. Ada usapanku di punggungmu, bukan? Kita barangkali dibungkam adat-adat yang latah. Aku masih bertahan dengan rumusan kental dalam kotak yang cedera. Aku yang masih ingin tahu tentangmu. Tentang sesuatu yang kau simpan di lemari musim. Aku menyimpan catatan merah jambu yang kau beri dalam malam membalas empat belas waktu. Kitab mantra Januariku ada untukmu. Sekarang tidurlah. Satu kecupan manis menutup salamku.



Bandung, 11 Juni 2012

Sepenggal Bias-16

Mengulang ucap rindu. Menggagahi tiap celah di hati dan memaksanya untuk jujur. Dudukkan prahara itu di muka jerami, lelakiku. Kita bakar bersama titian sepi yang gelagatnya sanggup menjepit mimpi.

Sekabut perih menelusup masuk mensyukuri tiap tetes embun. Pongah dan tertawa lepas. Kita harus berdamai dengan pagi. Menyalami anak-anak puisi yang mengkebiri sendu. Ada sakit di namamu saat meracuni senja. Diputar lagi seluruh kedip yang terpejam membayangkan sosokmu dalam inchi. Telanjang bersama menyatu dengan samudera. Tengadah berdua menantang angkasa. Bercinta dalam waktu. Memacu kata yang kita sebut dengan sukar.

Sajian-sajian penghantar kidung penuh puji ikut hadir masa itu. Kita duduk khidmat. Sibuk mencari kata yang diterjemahkan sebuah pelukan suci dan genggaman tangan penuh tanya. Kapan lagi kita sertakan dendang dalam elegi?

Kemudian kau berbaring. Mengumpat tentang hukum yang dungu membiarkan kita terpisah adat. Jauh disana kau katakan bahwa hati tak kenal luruh di bawah payung berhala. Aku merindu wangi khasmu kala bernyanyi dan parau suaramu menjelang tidur.

Sesaat sebelum turun nafas yang mengacu pada langit, aku ucapkan sekilas syair yang mengintip di jendela.



Bandung, 25 November 2011

Sepenggal Bias-15

Memelukmu di balik kehangatan sayap jiwa yang baru saja terbentuk. Memanggilmu di sela-sela gundah yang mulai memesan ruang. Ada di sana. Lelah yang menumpuk suram berkabung. Ada waktu dimana aku menjaga segala sesal. Dalam malam yang membiru. Memintamu menyambung harap. Barangkali suatu saat bisa terbebas dari serupa pilu. Hari itu terakhir kali kita menjemput senja dengan hujan gerimis yang ikut memenuhi sabda.
 
Dini hari ini. Masih dengan sepi yang sama. Masih dengan lisan yang tak henti menyebut rangkaian larik puisi. Bertahan dengan samudera. Kala wajah mulai pucat dan asap yang sedemikian mengepul pekat, ada ujung yang sesaat lagi tertuju. Kelabu. Itu tepinya. Bantu aku putar haluan. Jika ada karang menjulang, biarlah diri ikut redam di dalamnya.
 
Mungkin saja aku berkenalan dengan sebuah kata untuk menyerah. Bukan untukmu. Namun, aku tujukan kepada seluruh ruah rasa yang tak tahu arti tepi. Rapi terbungkus kain sutra yang aku tabung dari rangkaian malam saat kita berbagi tawa. Apa kabar langit kamarmu, lelakiku?



Bandung, 25 November 2011

Sepenggal Bias-14

Oya, aku lupa. Sepekan itu kita mendulang waktu yang membisu. Berganti bulan dan tahun. Ada cuplikan waktu yang terpahat. Bentuknya belum berubah. Kayunya masih sama. Belum selesai. Gores-gores yang kita buat menjadikannya sesuatu yang lain. Patah di ujung kirinya terjatuh, saat kita ucap melangkah sendiri.
 
Lelucon kehidupan. Hanya itu yang membuat kita salah bergurau tentang semesta. Mesin raksasa yang mengamini konspirasi apa pun. Sudah barang tentu mempersiapkan kematangan. Ya, sampaikan salamku pada sejumput duri pada dia yang kau panggil ibu. Benci ini tak pernah kenal kata lapuk. Tak ada sedikit pun tersimpan perkara adat di benakku. Siapa peduli kala kita lelah? Siapa yang berikan bahu hanya untuk menangis itu? Aku tertawakan saja.
 
Ingin rasanya berlalu, kemudian berlari. Tadinya aku ingin kita simpan cerita saja dulu. Baru nanti jika sama-sama mengerti warna jingga, kita bisa saling menatap lagi. Lalu, apa makna sapamu yang lagi dan lagi ini? Di tiap sudut kau simpan salam. Tak ada yang aku balas. Melihatnya pun membongkar pedih.
 
Tak sengaja. Kotak biru itu aku sentuh dan kita bertatap muka. Jika pun ada yang lebih dari tiupan selatan, barangkali itulah yang aku rasa. Getar yang bercampur lelah. Ada sedikit percik hentak yang berujung pada getir. Ini nadir, lelakiku.
 
Tak sengaja. Ada berat yang cepat tertancap ketika tanganku bergerak menyudahi. Ada tatapan sejuk disana. Gaya rambut yang dulu aku pinta. Ada senyum sedemikian hangat. Bagaimana aku bisa beranjak dari kursiku kini? Pesona itu milikmu, lelakiku. Utuh dan tak tergapai tangan.
 
Satu jam terlewati sudah. Kita bicara tentang tulip, es krim, atau ubi yang dulu kita beli untuk temanku. Saat itu kita bahkan begitu dekat. Berselimut putih bersama. Kau tidur lebih awal, sedangkan aku baru terpejam menjelang pagi. Kita siapkan sarapan bersama. Kini, kita pintar memainkan peran. Berbaju sandiwara teater mapan. Sesekali menarik nafas panjang kala penghayatan tokoh begitu menyesakan dada.
 
Di akhir, kau tanyakan Ernie dan Burt. Demi Tuhan, lelakiku, luruh sudah pertahananku. Aku pikir, tangisanku yang dulu sempat jatuh ke lenganmu dan kau hanya diam, tak ‘kan terulang lagi di hadapanmu. Tanganmu memang tak menyentuhnya sekarang, namun ada yang hinggap begitu jalang di hati. Kau terdiam lagi. Si mie mie dor de tine, katamu lagi. Pelan dan hampir tak terdengar. Aku pamit tergesa.

 
*terinspirasi obrolan singkat setelah makan malam. Saya menatap mereka. Boneka Ernie dan Burt dalam Sesame Street. Dua tokoh yang selalu kami mainkan dalam obrolan sebelum tidur dulu.



Bandung, 17 Juni 2011

Sepenggal Bias-13

Kau masih sendiri, sahutmu seraya melesatkan ricuh dalam diri. Ada tanya yang mengganggu dan terus mengejar. Ada apa dalam kesendirianmu? Kau tak menjawab. Hanya menarik nafas panjang sambil memainkan pena. Aku bahkan masih ingat caramu yang menutupi gugup. Walau kita tak saling bertatap muka, namun aku tahu kau lakukan itu.
 
Sesekali hening di seberang sana. Mengapa permainan kartu ini enggan usai? Jika kau harus keluarkan kartu paling tinggi, lemparkan saja. Kau jadi juara. Tidakkah kau tahu, menunggumu yang sibuk menunda-nunda itu membuatku bersenggama dengan pedih? Kau bertahan. Berusaha mengintip kartu-kartuku yang kau bahkan tahu, aku pasti kalah. Lantas, menyudahi pun kau enggan. Kau hanya ingin menatapku yang gusar menunggu giliran, bukan? Kau tak tahu bahwa suaramu malam itu membuatku berkaca pada arca. Aku mematung. Detak seolah nyata di telingaku sendiri. Kau tak pernah tahu jika kau hadir, dengan sigap kerdil mengancam diri.
 
Aku sudah tak sendiri, giliranku berkata. Suara kecil di sudut menyahut, masih kau yang memiliki puja itu. Namun, kau berhenti pada langkah dan gontai putar haluan, lelakiku. Lantas, apa yang bisa aku gadaikan lagi, kala seluruh wahana tersihir olehmu? Perbincangan akhir kita dulu ada pada masa tetes itu berlabuh di lenganmu, demi dia yang kau panggil ibu! Dari rahimnya, kau bercengkerama dengan semesta. Aku? Aku kukuh mengikis rasa yang kita semai bersama. Sampai pada satu jentik, aku pun enggan.
 
Permisi, adakah hati disana? Barangkali terlalu lama kau sendiri, hingga kau gagap menerjemahkanku, sedangkan aku dengan tergopoh menafsirkanmu. Kita gagal dan mari sama-sama akui itu. Kau tinggal memberi sajak padaku dan aku akan katakan ya dengan sebuah anggukan kecil, lelakiku. Kau tak lakukan itu. Kau masih juga sibuk mengatur nada dan menyentuhku sesekali.
 
Aku bersamanya kini. Adakah yang ingin kau sampaikan padanya? Dia terlampau sederhana untuk kau pandang rumit. Dia yang ada pada saat kau berputar dulu. Dia yang seringkali mengaku tak tidur dan aku mendapatinya dengan tatapan lelah. Keletihannya yang dibalut dengan senyum menyambit tiap buih rasa yang aku masih simpan untukmu! Dia yang justru menemani saat pergantian tahun. Dia yang selalu sisakan waktu untuk menghubungiku sekedar mengucapkan selamat atas hari lahirku. Dia dengan puisi-puisi kecilnya. Dia yang menatapku penuh saat aku bercerita tentangmu! Tidakkah kau tahu itu?
 
Suatu saat kita bertemu lagi, lelakiku. Mungkin nanti kau akan siapkan semua catatanmu dan menceritakan aku kisah penantian dan kesendirian itu. Aku pamit. Dia telah menggandeng tanganku dan memberi pagi dengan nuansa lain. Tanpa adzan subuh. Tanpa doa berdua. Namun, aku yakin bahwa Tuhan kita sama. Semoga bahagia disana.



Bandung, 30 Juni 2011  

Sepenggal Bias-12

Barangkali keliru. Ini lebih dari sekedar menyakitkan. Sebuah pesan singkat tiba-tiba masuk malam tadi. Berisi anggukan kecil. Entah apa yang ada dalam pikirnya. Sudah lama berlalu. Namun, hentakan kasar itu masih juga memecah sunyi. Menambah daftar panjang ruas-ruas perih. Aku tahu itu caramu menghibur, duhai mentari rinduku. Adakah yang lebih sederhana ketimbang salam suci? Ketukan tawamu yang tinggal sepenggal itu memaksa aku mengurai sajak-sajak yang mulai usang. Hampir berkenalan dengan usai.
 
Kau masih sendiri disana. Aku sudah melewati selaksa senja dengan lagu-lagu yang mengulum rindu. Menghitung masa yang seringkali biadab memancung rasa. Meruahkan sesal yang bertumpu pada hujan sore. Ya, hujan kala itu terakhir kali kita bergenggaman tangan. Ketika itu kita bahkan gagap mengeja hari. Melepas bulan saat kau baru saja berulang tahun. Meninggalkan pigura kecil yang dengan setia aku simpan. Menatap senyummu tiap aku baru saja membuka mata.
 
Apa kabar langit kamarmu, lelakiku? Tidakkah kau lelah menipu waktu? Seruan hijau kembali menunjuk tepi hati. Jangan terlalu lama duduk disana. Kau tak 'kan temukan aku. Ini aku yang menyiram surga dengan wangi tetes doa yang seringkali letih memanggilmu. Aku disini yang lupa pada mentari saat gantikan bintang. Aku yang memegang dadu dan enggan menghempasnya. Aku yang mencinta judi paling jalang di semesta lewat mantra-mantra dari kitab Januariku.
 
Pesan singkatmu malam tadi mengajariku tentang jengah yang berhamburan di atas lentera hati. Untukmu, lelakiku, barangkali memang kita harus berdamai dengan pagi.

 
*terinspirasi lagu Tori Amos-Sleeps with Butterflies yang membantu saya meredam geliat yang berdenging atas sebuah pesan manis yang mengejutkan dan memasung ikrar lagi tentang keletihan.



Bandung, 29 Juni 2011

Sepenggal Bias-11

Bangku itu kosong. Hampir berdebu. Dekat tirai sebelah barat. Kadang aku ingin duduk lagi disana. Mencium aroma pagi dan mengutuk anak-anak penduduk sekitar yang gaduh di sore hari atau anak SMA yang sibuk menyalakan motornya.

Selalu tentang waktu. Menyempurna menuju kesunyian paling agung. Dulu kami sama-sama menatap langit. Saling bercumbu dan tak pedulikan kantuk. Remang dalam nuansa getar yang pekat. Suara sungai terdengar merdu sekali. Perlahan hanya nafas yang memburu begitu kencang mengetuk-ngetuk telinga.

Ya, kami hanya menikmati itu. Ketika helai demi helai kain berujung di lantai. Ketika hangat tubuhnya menyepakati keluguan hasrat yang tinggal menunggu angguk. Ketika hari mulai pagi dan selimut menjadi basah dengan peluh.

Kita sejenak menjadi liar. Memangsa tiap perih dan memenjarakannya di tepi hati. Walau hanya hitungan jam mencuri waktu untuk sekedar saling memeluk. Di tempat itu kita rebah. Menghunus luka dan melirik bahagia. Kita bahagia. Sangat bahagia.

Jika ada sebuah kata yang kita sebut dengan sempat, layakkah ciuman itu terulang? Sekedar menggenapkan rasa yang dulu utuh di genggamanmu. Hanya untuk mengulang keindahan yang dulu kita gantungkan di langit-langit jiwa. Untuk menjamu masa lalu yang seringkali biadab memukul ingatan. Bertukar mimpi di tempat tidur.

Aku ingin mendengar lagi suaramu yang parau di dini hari, lelakiku. Nyanyikan lagi lagu-lagu itu. Aku akan membayarnya dengan dongeng. Kau suka dengan kisah Tono dan Wati, bukan? Tentang piala yang seringkali terlupa di lemari. Berdebu dan akhirnya usang. Kau suka aku yang menirukan suara Doraemon mengeluarkan baling-baling bambu. Kita masih juga menonton Sesame Street. Tentang Burt dan Eddie yang konyol. Tentang monster yang rakus. Tentang Elmo yang sibuk mengajari anak-anak berhitung.

Aku merindukan akhir pekan itu, lelakiku. Ketika aku berpuisi pada-Nya agar kau segera pulang dan Dia tak menyahut. Aku pun mulai enggan mengadu lagi untuk memintamu mengganti bingkai lukisan kita yang sebentar lagi memuai entah kemana.


*terinspirasi dari Bryan Adams-Please Forgive Me. Still feels like our best times are together. Feels like the first touch. We're still gettin' closer baby. Can't get close enough. I'm still holdin' on. You're still number one.



Bandung, 1 Februari 2011

Sepenggal Bias-10

Kala itu aku menghadap barat. Sudah lama sekali sebelum berkemas tinggalkan kuning dan jingga. Dini hari. Menghitung batang-batang rokok yang ikut tertegun bersama pergantian musim. Tak jauh dari bangunan tinggi di tengah pemukiman kumuh hasil semburan jalang penguasa bermental penghisap racun-racun binal. Dengan wangi kopi kental hitam tanpa gula. Mencoba menjamah ranah jiwa yang sempat lupa kembali bersama tulip kuning.

Mungkin saja ada sedikit santun yang bisa kau puisikan pada tirai yang menutup malam di hati. Agar rasa tak menjadi lupa pada cerita dan lingkaran suci yang kini aku simpan di dalam kotak. Harusnya kita sama-sama menyimpan mesin penghitung dan memiliki lorong waktu. Agar suatu saat kita tak harus diingatkan pada kisah manis dan getir dalam rangkulan nyanyian berdua.

Wangimu masih bagian dari kotak besarku yang tak bisa ku sisipkan di lemari. Akhir pekan dulu, wangi itu mengisi petakku. Kau dengan rambut basah dan badan terlihat segar mengalungkan handuk kecil. Kau dengan bibirmu yang masih dingin sisa siraman air menyentuh bibirku yang malas beranjak dari mimpi. Mimpi yang enggan membuatku bangun untuk menghayati bahwa kelak kita berhenti dari cerita ini. Nanti ada cap masa berisi potongan-potongan kecil surga yang kita bangun bersama. Surga hanya kita yang tahu. Surga yang hanya milik kita. Surga berisi kebahagiaan yang tak perlu kita percikkan ke dalam jiwa-jiwa kering insan lain. Surga kita, milik kita, lelakiku.

Apa yang memabukanmu tempo hari? Lebih dari anggur, bukan? Lebih dari minuman-minuman itu. Kau mabuk dalam ilusimu. Kau terbang menuju tempat yang kau puja. Sebelumnya kau sembunyi di balik dekapan sang bunda yang mengisyaratkan percepatan sebuah akhir. Kau pergi menjelang pagi. Kau lebih gesit dari ayam jantan. Sapu tanganmu kau tinggalkan di meja bersama pigura hitam. Barangkali aku harus mengajarimu cara mabuk yang baik.

Ini anggur di tanganku. Mau mencoba? Aku tuangkan, ya? Jangan menolak! Setidaknya, kau hanya akan lupa pada tingkah semalam saja. Kau akan tahu apa itu mabuk. Anggurku akan mengajarimu cara menyimpan tangis dan memendam perih. Menahan luka. Anggurku akan memberitahumu makna menanti. Jangan mabuk selain oleh anggurku karena kau hanya akan tahu cara mengkhianati!

Anggurku masih anggun di atas meja. Tak tersentuh karena kau mabuk lebih dulu. Kau malah belajar mengasah makna mencerca. Pulanglah. Jangan mabuk di depanku karena aku mencintai anggur dalam gelas. Tak serupa ilusi yang membuatmu lebih dari mabuk.
Ini gelas anggur kesekianku. Berharap suatu saat kita mabuk bersama.



Bandung, 27 Januari 2011

Kamis, 16 Agustus 2012

Sepenggal Bias-9

Mungkin naif ketika bicara tentang setengah kosong dan setengah berisi. Tadi malam saat filsafat Buddha yang misterius ini sejenak menyita perhatian pada titik-titik di tangkai tulip kuning. Ya, masih tentang sore yang bicara tentang vihara. Betapa sang bikkhu menjadi agung di tengah bising yang entah bermuara di laut mana. Samudera mengabdi pada simpul dinasti dewa langit yang mengejar naik gradasi. Sama seperti jiwa yang perlahan bergerak menuju titian nirwana. Oh, masih tentang nirwana rupanya. Ada yang lebih tinggi dari itu, bukan? Moksa yang hidup di tiap tepi degup santun mencoba mencari hiruk pikuk semesta yang dibungkam.
 
Siapa yang berani ikut serta menuju-Nya? Lorong moksa ada di hadapan kita, kawan. Gumpalan mungkin sopan mengaduh pada Dewi Kwan Im yang mencinta sajak-sajakku. Putih mulai mengkebiri hitam. Ya, warna yang paling aku cinta. Warna yang tak pernah sanggup diintervensi apa pun. Tak ada yang meracuni warna hitam. Jika pun ada, justru lebur bersamanya. Namun, ketika putih hadir, keduanya tegas memberi tahu identitasnya masing-masing. Mungkin itu pula yang menyebabkan temanku di Belanda sana begitu semangat mewakilkan dirinya dengan warna ini.
 
Beberapa waktu lalu aku bernaung di bawah sabit yang menampakan diri. Oh, aku tahu. Jika waktu di pantai dulu, bulan penuh, beberapa waktu lalu malah sabit. Seolah menyampaikan pesan bahwa ada yang jauh dari utuh. Ada yang duduk. Ada yang tersambit. Aku atau kau, lelakiku? Siapa yang bicara tentang mengapa dan bagaimana? Aku berada di mengapa dan kau bagaimana. Itu jawabannya. Seharusnya bisa genap, bukan? Namun, ternyata tak seiring seperti angka sebelas.
 
Puisi dan prosa hati masih terus tertuang di kertas-kertas malam. Kapan kita mengadunya bersama sambil menuju pagi? Simpan kata maaf. Aku enggan beri itu. Jangan pula kau berikan maaf dengan sukarela padaku. Kita lipat saja kata itu dan memasukannya ke dalam bongkahan pualam atas seni yang terukir agung. Bisa juga kita sematkan di sela sungai kecil di gunung es. Dimana sajalah yang penting hanya kita yang tahu.
 
Hampir saja aku lupa. Kotak hitamku sudah siap. Hanya tinggal menunggu waktu. Hitungan mundur menuju 33 purnama. Aku mulai merapikan meja-meja di benakku. Membenahi rasa yang masih ada untukmu. Selalu. Mensemesta. Membuai demi moksa.

 
*terispirasi saat suatu malam saya mendengar lagu Jikustik-Puisi. Saya tidak menyimpan kekaguman pada grup yang satu ini. Namun, entah kenapa, saya cukup berimajinasi sambil mendengarkan lagunya. Katanya, kapan lagi ku tulis untukmu tulisan-tulisan indahku yang dulu. Pernah warnai dunia. Puisi terindahku hanya untukmu. Mungkinkah kau ‘kan kembali lagi. Menemaniku menulis lagi. Kita arungi bersama. Puisi terindahku hanya untukmu.

Menuju tiga keganjilan purnama kesebelas. Kotak hitam ini ku simpan jauh sebelum kau tahu bersama lingkaran bersenandung berbatu mulia. Selamat datang hujan dini hari.



Bandung, 10 Juli 2010

Sepenggal Bias-8

Pengakuan yang sempat duduk di titik demi titik mungkin segera berhenti. Adakala waktu menjadi mesin judi dan aku ikut bising di balik meja. Aku berteriak, namun kadang mengeluh dan melenguh. Oh, jangan bawa gaun itu di depanku sebelum aku katakan amin.
 
Kau boleh menutup kaca-kaca yang dipasang di seluruh sisi, namun cermin itu senantiasa mengikutimu. Masuk ke musim ketujuh. Ah, ini angkaku, bukan? Kita mencangkul tanah-tanah resah yang mulai ditentang kemarau.
 
Duhai, apa yang yang kau pikir tentang hidup? Tentang purnama kesebelas. Tentang dosa. Tentang kerangka jiwa yang mencium tusukan duri yang merajuk kala hujan?
 
Aku malas mengulang senar-senar gitar yang berdenting. Ya, aku siapkan lisan. Kita sajikan hati untuk belajar makna agungnya kedewasaan. Kita bukan pecinta semu. Inilah sandiwara.

 
*terinspirasi dari hujan dan dini hari kala saya menutup pintu dan dia pergi.

Jangan lupa untuk mengambil puisi-puisi yang aku siapkan di lemari besi. Aku sempat berbisik dalam rima. Hanya kau yang aku beri tahu sandinya. Buka perlahan dan bawa pulang. Suatu saat mungkin kau bisa tersenyum sambil membacanya menuju tengah malam dalam senyap dan  kau tahu aku ada disana.



Bandung, 10 Juli 2010

Sepenggal Bias-7

Aku mungkin tidak tahu. Dia sengaja lupa. Dia membujuk matahari mundur dan berhenti. Ini masih tentang kehidupan yang terus mencari kayu untuk bahan bakar. Ya, kala lelah mulai mendobrak pintu, aku tak ingin tahu.

Hari telah sore. Sebentar lagi senja, kemudian malam. Aku mengangguk kala dia bicara tentang topi hitam yang suatu saat aku pakai di sebuah perayaan musim. Mengapa dia mundur demi ketakutan pada ular-ular kuning? Aku enggan percaya. Aku masuk di lipatan purnama. Bertahan menyempurnakan pedih agar dia berdiri. Dia tidak murka padaku. Namun, aku menyentuh lewat samudera dan dia masih tak mau tahu.

Wahai para pemuja langit, aku langsungkan pengkerdilan semesta. Aku birukan sungai lagi. Aku tidur saja di pembaringan angin. Mengulang sisa remah matahari. Sudahlah, aku tarik selimut sampai di tanah.

Mungkin titik bisa menjawab kebuntuan. Hidup di dalam mesra jiwa yang enggan peduli tentang letih. Segera pulang, lelakiku. Aku menunggu. Aku punya titik. Jangan bawa koma, apalagi tanda tanya.


*terinspirasi dari hujan malam-malam lalu. Dosa dan aku tahu.

Sekalipun setumpuk carut meresap ke dalam benih di cawan luka, aku sudahi nila yang setubuhi janji. Aku mengerti betapa hangat sang murai mencoba mencinta bumi.




Bandung, 29 Juni 2010

Sepenggal Bias-6

Dalam karsa merindu tangan Tuhan. Malam tadi purnama mengantar suka duka yang bertebaran di semesta. Masih tentang kita yang gagap mengindera kecam. Adakah suara itu benar adanya, lelakiku? Apakah kita telah lalai bermain dengan garis-garis Tuhan? Mungkinkah kita yang salah menafsirkan takdir? Aku ingin tahu sejauh mana kendali itu melekat di bawah pilihan sadar jiwa kita. Kita sepakat dengan lonceng yang berdentang di gereja menunjukan keberadaan nyata yang entah kapan bisa kita raih. Bukankah hidup tak hanya sekedar menjemput hati, namun ada makna yang mengikuti tiap tindakan?

Ketika kita mengulas keyakinan, apa yang pertama kali muncul di benakmu? Kita sibuk mengutip para pujangga dan filosof, namun kita tak bisa juga memahami maksud di balik itu. Aku ingin mengunci emosi yang selalu ikut tertawa tiap kali kita beradu ucap. Mungkin kita bisa sedikit lebih bijak melatih rasa agar tak lagi meluap seperti malam tadi. Bagiku, maaf adalah tindakan nyata. Bukan kata yang melegitimasi kesalahan-kesalahan untuk diulang kembali. Sayangnya, kita masih berkubang di tempat yang sama.

Kadang jika kita membahas apa jadinya 11 Juli atau 7 November, ada khayal yang tak berhenti mengetuk kasar di dasar benak. Mungkinkah ilusi ini sedemikian bengis, sehingga kita pun takut berdiri di depan altar? Ini pengadilan pertama, lelakiku. Aku memintamu untuk tinggal sejenak saja untuk mendengarkan langkah kakiku yang sebentar lagi terpeleset jika kau tak segera menggapai. Ketika pun itu telah terjadi, bagaimana cara membahasakannya padamu? Bagaimana lagi mengurai prahara yang sesungguhnya enggan kita ulang? Bagaimana cara menutup hari dengan tidak mengejarmu di kala hujan dan menunggumu di pagi hari?

Jangan panggil aku sebelum tidur, lelakiku. Aku ingin kehadiranmu sesaat setelah aku berpuisi pada-Nya. Dia selalu memberi cinta di balik cahaya-Nya, mengapa kita tak sanggup menerjemahkan tiap lekuk indah doa yang menjadi buih dan menyatu dengan laut hati? Ini masih tentang aku yang bicara di enam musim,  tujuh samudera, dan sebelas purnama. Tiga keganjilan sebentar lagi usai. Tambah satu, maka genap keganjilanmu. Aku menulis suara yang terekam dengan jelas di ingatan dan masih menunggumu mengulangnya lagi. Sanggupkah kita menjadi mentari?


*terinspirasi dari kebodohan malam tadi. Di tengah gerhana dan rembulan yang membulat. Menatap emosi liar yang ikut serta dalam perbincangan.

Duhai pecinta, aku mungkin rerumputan yang ikuti anginmu bernyanyi. Aku ikuti kabut yang perlahan mengurai sunyi. Enggan cederai isak yang terkulum bersama embun. Dini hari menyentuh alur. Menanti mentari rinduku pulang dari persimpangan.



Bandung, 27 Juni 2010

Sepenggal Bias-5

Jangan dulu bangun. Aku belum selesai mencuci baju, apalagi dosa. Aku belum rampung merapikan kamar, apalagi jiwa. Jangan pakai selimutku, jika kegerahan dengan matahari pagi setelah semalam kau mengaku tak tidur. Entah piala dunia atau permainan kehidupan yang membuatmu lupa pada tidur. Kita tidak menari malam tadi. Kita hanya diam. Masing-masing dalam sunyi yang hadir seketika. Sama-sama tidak bicara, bukan tak sanggup.
 
Kemarin aku mengerti kau yang mengaduk kopi hitam kental tanpa gula kegemaranku untuk sekedar mengendus perih yang sedari tadi memainkan peran. Kau mengerti aku yang hanya menghisap rokok berbatang-batang dan menghembuskan asapnya yang sesekali keras. Lagi dan lagi kita menatap matahari tenggelam bersama. Sebentar lagi senja! Oh, kau pun tahu aku benci temaram. Kita duduk tanpa bicara. Hanya saling berbisik lewat ruang hati. Meraba-raba emosi yang mengungsi lama. Entah kapan akan bermukim di tempat yang seharusnya. Barangkali hidup memang arena paling tepat, sehingga kita pun layak menyebut emosi sebagai penduduk taman bermain.
 
Malam tadi aku tak mengizinkanmu menjemput dini hari seperti biasa. Bukan enggan, aku hanya ingin bernafas sesekali, walaupun kau pulang menuju persinggahan. Merasakan dingin bersama di terpisahnya ruang. Satu cuaca. Satu dingin. Aku di sini. Kau di sana.
 
Aku tertidur pulas saat sampai di surga kecilku. Ketukan pintu pagi ini membantu menyeruak udara tak bersahabat karena hujan. Ah, hujan. Aku cinta hujan karena membantu samarkan air mata, itu yang aku kutip dari para penyair.
 
Ternyata itu kau. Berdiri kuyup dan menggigil. Aku ambilkan handuk dan membuatkan teh hangat. Masih jam enam pagi, lelakiku. Dari mana kau sepagi ini? Hujan lebat di luar. Wajahmu pucat. Kau masih tak terbiasa dengan dingin, bukan? Tentu kau akan bersin-bersin. Mari, aku usap kayu putih di badanmu. Kau hanya bicara sebentar. Tak ingin aku sendiri dalam sepi, itu saja katamu. Ah, kau masih ada. Mengapa aku harus merasa sepi?
 
Kau kadang tak tahu bahwa waktu juga menunggu keberakhirannya. Kita tidak bercinta dalam waktu. Moksa tidak hidup dalam waktu, lelakiku. Dalam senyap pun aku masih sanggup mengeja namamu, hingga tersenyum lagi. Putaran ini hanya membuatku sedikit terhuyung dan kau masih bisa menangkapku, bukan? Usah khawatir dengan tamparan roda. Mungkin aku terlempar sebentar. Kau masih mampu membantu membersihkan sisa kerikilnya. Ya, ini kerikil kecil, lelakiku. Kecil sekali. Aku yang memungutnya dan kau bersihkan nodanya. Itu saja.
 
Kau menangis malam tadi? Tanyamu. Aku memang menangis, lelakiku. Menangis itu terkadang indah, bukan? Aku bersedih dan tangis menggapaiku menuju titik aman. Hidungmu mulai berair. Aku ambil tisu untuk mengelapnya. Kau kedinginan. Aku menyuruhmu berbaring. Giliranku menunggumu dalam sakit. Kau tak tidur semalaman dan kehujanan. Kadang kau memang tak mendengar pintaku. Aku baik-baik saja dan kau pun harusnya begitu. Kini suhu tubuhmu meninggi. Aku selimutimu. Tidurlah.
 
Perlahan nafasmu mulai teratur. Kau terlelap. Aku hanya memperhatikan gerak bola matamu kala kau terpejam. Mungkin kau sedang bermimpi. Jangan katakan mimpimu buruk, lelakiku. Aku perempuanmu yang masih mampu menghapus keringat saat kau letih. Di sampingmu berdiri untuk mengakui kehebatanmu bersamaku di enam musim. Bertepuk tangan dengan bangga saat kau berselancar dengan papanmu. Tertawa bersama atas lelucon-lelucon kehidupan. Menyempurna bersama yang terkadang perih menuju-Nya.
 
Jangan dulu bangun. Biarkan aku yang mencari makan siang dan menyuapimu. Tubuhmu panas. Pikiranmu tidak. Aku tahu itu. Jangan ulangi lagi, lelakiku. Kau masih tak kuat dengan udara dingin. Kemarin kita sama-sama sakit. Tidurlah. Aku baik-baik saja dan seharusnya kau pun begitu.

 
*terinspirasi dari udara dingin, hujan lebat, dan sebuah ketukan pagi tadi dengan mawar kuning yang juga ikut kuyup… ;p

Kecupanku di keningmu membabat cumbuan resah yang mengakar. Jangan datang dalam hujan. Aku takut dekap ini tak sanggup hentikan gigil sanubarimu yang menghangatkanku kemarin sore
 
 
 
Bandung, 13 Juni 2011

Sepenggal Bias-4

Oh, masih tentang malam yang panjang. Malam yang bicara tentang rindu. Malam yang kadang biadab mengeksploitasi ruang hati. Secangkir kopi hitam kental tanpa gula terduduk dengan anggun di depanku. Aku mengamati sisa-sisa percik nirwana. Hei, nirwana bukan surga. Nirwana adalah kebahagiaan yang tidak serupa apa pun. Tak ada yang sanggup menggambarkannya. Nirwana bukan surga, kawan. Aku ulangi itu! Lebih indah dari kedamaian surga, begitu barangkali yang disampaikan Sang Buddha.
 
Itu pula yang diberikannya padaku. Tak pernah berhenti. Ah, rasa memang tak kenal tepi, bukan? Rasa tak punya waktu. Rasa tak butuh ruang. Rasa hanya butuh melekat pada inmaterial diri kita yang niscaya. Bukankah itu yang dimaksud Tuhan dalam firman-Nya? Kita adalah bagian dari percik cinta-Nya, sehingga saat rasa itu hadir, kita larut dalam nuansa-nuansa keindahan wangi surgawi. Aku ingat obrolan kami malam itu, dia duduk di sampingku. Tentu dengan memainkan rambutku yang mulai setengah punggung ini.
 
“Berapa angka favoritmu?” tanyanya.
 
“Tujuh,” jawabku pendek.
 
“Tujuh? Alasannya?” dia bertanya lagi.
 
“Tujuh itu simbol ketidakterbatasan orang Timur Tengah. Di sana pula tempat Tuhan menurunkan agama-agama besar dunia dengan bahasa yang mereka pahami. Bahasa-Nya yang dimengerti oleh mereka. Kau pikir, apa maksud dari tujuh lapis langit, tujuh lapis bumi, tujuh lapis kulit, tujuh samudera, tujuh puluh bidadari, tujuh puluh derajat, dan tujuh-tujuh yang lain? Semua Dia simbolkan dengan angka tujuh. Ketidakterbatasannya yang bisa dipahami oleh bahasa manusia”.
 
“Menarik,” jawabnya. Lalu kami terdiam. Dia masih memainkan rambutku dengan jemarinya. Menatap teduh. Menggenggam tanganku. Menciumnya. Mencoba mengerti arti senyum tipisku.
 
“Bagaimana denganmu?” kini giliranku bertanya.
 
“Aku suka angka sebelas,” tatapannya sedikit menerawang. Dia membalas senyumku dan menunggu aku menanyakannya. Namun, aku tak melakukannya. Aku biarkan dia bicara dengan bahasanya. Aku lepaskan keinginan untuk memenuhi keangkuhanku yang selalu ingin tahu tentang alasan-alasan yang dia miliki. Aku hanya ingin mengerti dia yang bicara dengan caranya sendiri.
 
Dia lanjutkan ucapannya, “Kau tahu? Coba kau bayangkan angka sebelas. Sama. Sejajar. Seiring. Berbeda tanpa pertentangan. Aku ingin menjadi angka satu dan kau menjadi satu lainnya, sehingga kita tepat dalam sebelas. Keganjilan yang genap. Bukan kontradiktif, putri. Kau hanya butuh memahaminya utuh. Sebelas itu angka ganjil dan pemenuhannya menuju sebelas adalah kehadiran yang menggenapkan”. Dia mencium keningku dan mulai bergeser ke tempat tidur. Mengajakku dengan bahasa tubuh agar aku duduk di sampingnya dan menyandarkan bahu.
 
Kami terdiam lagi. Masuk ke dalam nirwana. Aku ingin moksa, lelakiku. Aku hilang. Kau pun hilang. Kita hilang karena menyatu dengan-Nya. Bersama nafas cinta-Nya. Bersama langkah bijak-Nya. Bersama dalam hangat peluk-Nya. Beri sedikit waktu agar aku bisa menggapaimu sebentar saja sebelum kita sama-sama menghilang. Aku hanya ingin tahu bahwa ini realitas absurd yang sementara karena kita sepakat bahwa ini ilusi, bukan? Dunia. Alam terendah. Penuh teka-teki. Penuh strategi dan pertimbangan. Dunia yang kadang membuat kita seperti berdiri di balik meja kasino. Membayangkan dengan debar tentang angka-angka yang akan muncul kemudian. Dunia yang mempertemukan kita, lelakiku. Dunia yang juga kelak pisahkan kita. Maka, aku ingin segera masuk ke dalam moksa. Tempat kita tak akan terpisah. Hanya bertemu karena kita menyatu dengan-Nya. Bisakah kau bayangkan itu? Kebahagiaan apa yang bisa menandinginya? Ini bukan lagi surga. Ini nirwana!

 
*terinspirasi dari obrolan panjang saya dan pasangan di suatu malam. Saat itu juga dia nyanyikan lagu Sampai Nanti. Itu sebabnya saya sangat mencintai kata ilusi, ganjil, tujuh, dan sebelas yang selalu tertuang dalam puisi, prosa, dan tulisan-tulisan saya. Mengutip pernyataan dalam film Benjamin Button, life isn’t measured in minutes, but in moments.

Di utara ada nirwana. Di selatan ada samsara. Setahuku kau ada di timur. Belum juga pindah haluan. Aku di barat. Lupa pada armada. Nirwana benahi duduknya. Samsara pertajam tatapnya. Katanya kita ada di titik yang tak tersentuh garis lintang. Mereka pun mengukir-ukir batu karang. Kita ada dalam moksa. Tanpa langit dan bumi.



Bandung, 9 Juni 2010

Sepenggal Bias-3

Mungkin bisikan itu masih ada. Menghadap barat. Menantang tirai-tirai yang enggan terbuka. Kau menghadap timur. Kita berhadapan. Aku berkata pada periku, hitungan mundur untuk tiga tahun ke depan. Aku siapkan kotak. Mengemas puisi-puisiku. Memeriksa tiap lembarnya dan tak terlewat sedikit saja kata manis yang malu beradu dengan puisimu.

Apakah kau tahu, jika pun aku duduk menghadap selatan, aku sebut namamu demi ujung kabut yang aku simpan di depan tembok-tembok yang akan selalu merindukan nyanyian dini harimu, lelakiku? Ada kala aku ingin meninggalkan petak kuning dan jingga. Mengunjungimu di utara dengan dingin dan hujan di dini hari. Bercerita dengan adzan subuh. Menghabiskan berbatang-batang rokok melawan gigil dengan kopi hitam kental tanpa gula. Menyusun urutan waktu yang perlahan menjadi ilusi.

Ah, kau pun tahu aku santuni tiap genggaman tanganmu. Ini rencana yang sengaja aku tulis, sebelum nisan-nisan itu merebut tiap siluet yang aku ciptakan di garis-garis pantai, lelakiku. Bukan untuk bungamu. Bukan untuk dekapanmu. Hanya untuk raga yang meredup di tepi pintu. Aku masih simpan ingatan tentang petikan gitarmu, hingga aku enggan mendengar lagu itu sebelum kau nyanyikan lagi untukku.

Kita tidak akan pernah lupa, bukan? Cinta demi semesta yang menaungi keganjilan purnama kesebelas. Jangan dulu beranjak. Ajari aku untuk berdamai dengan senja, lelakiku. Aku melirik jari kiriku. Aku tersenyum untukmu. Mungkin suatu saat aku sematkan serta di kotak yang akan aku berikan padamu. Kotak hitam. Tak ada yang sanggup meracuni warna kelam, lelakiku. Sekuat itu aku sampaikan pesan bahwa rasaku tak pernah berkenalan dengan usai. Untukmu dari hati. Hitungan mundur.


*terinspirasi dari ketidaksengajaan melihat kotak yang saya simpan di lemari. Mungkin untuk yang satu ini tidak akan menjadi bagiannya lagi karena tidak berwarna hitam. Dari keinginan yang belum terwujud untuk menikmati udara Bandung utara dini hari sendiri… ;p

Saat berwujud ke raga, enggan sujudku terhenti pada titik kegaiban nuansa yang berjenjang lugu.



Bandung, 6 Juni 2010

Sepenggal Bias-2

Berlebihan pun aku tak peduli. Waktu itu serasa masuk ke belantara entah benua mana. Jauh dari angkutan resmi yang disediakan pemerintah. Sepuluh jam perjalanan. Berhenti di terminal entah apa namanya.  Sebelumnya, panas udara pantai bicara padaku tentang makna kesendirian yang lebih pekat karena aku bersamanya. Seorang pria pembenci prolog. Jarang berucap dengan tatapan teduh. Seorang laki-laki yang aku tunggu sejak lima tahun lalu dengan kebersamaan hampir enam musim.
 
Kami pecinta kesunyian. Kala itu terik khas cuaca pantai mencoba berkenalan denganku. Tak henti laki-laki itu menggenggam tangan menuju persinggahan selanjutnya, sejak awal kami merasakan hiruk pikuk bus rakyat. Makin lama jumlah penumpang makin minim. Malam pun bertandang memeluk pijar-pijar hati yang tak urung menyala. Entahlah, seakan waktu bersahabat selamanya dan dia mengajakku ke pantai malam itu juga. Sepi. Gelap. Kami hanya berdiri. Menikmati debur dan angin tanpa bicara. Aku rasakan itu! Seolah tak bosan menggertak, cinta itu hadir dan mengisi kotak-kotak jiwa yang bingung mencari tepi.
 
Esoknya, canda datang silih berganti. Dokumentasi foto dan video, dia susun mengikuti langkah riang. Sesampainya di stasiun, hanya ada ojek dengan jarak tempuh yang membuatku salut akan perjuangan mereka. Tapi, tunggu. Aku menahan nafas ketika memasuki jembatan bambu yang cukup panjang dengan sungai tenang di bawahnya. Nampak dalam. Airnya berwarna hijau karena berasal dari air terjun yang mengikis lumut saking dahsyatnya. Betapa aku merindukan tempat itu kini. Belum selesai kekhawatiranku, sekumpulan anak pramuka menghalangi jalan kecil menuju titik akhir jembatan. Dan akhirnya, aku seperti kehilangan keseimbangan ketika tak lama kemudian, aku melihat perahu-perahu nelayan berjejer dengan hamparan biru! Atas nama penggenggam keindahan gemerlap semesta, I just wanna say, God, I love him so much!
 
Aku perlahan turun dari motor dan melihatnya tersenyum penuh arti padaku. Dia kembali menggenggam tangan dan berbisik tepat di telingaku, hingga hangat bibirnya cukup membuatku terpejam sebentar. “I told you, let me take you there someday. And now, we’re here, my lovely princess”, katanya. Entah ada keutuhan dari mana, yang jelas aku rasakan itu! Aku bahkan menahan ledakan emosi ketika ingin tiba-tiba memeluknya erat. Menghempaskan perih dan menangis atas sebuah nuansa percik-Nya.
 
Aku duduk sendiri di sana dan dia menatapku dari jauh. Seolah membiarkan aku yang larut dalam pekik rasa yang meluap. Hanya aku yang duduk di sana. Pantai kecil. Tidak tersentuh media dengan hanya tiga hotel kecil berdampingan. Hari itu Senin. Sepi. Kosong. Hanya aku dan dia. Tak ada pengunjung lain karena kami masuk ke hotel-hotel kecil itu. Satu di antaranya sedang direnovasi, sehingga tidak bisa dipergunakan.
 
Sorenya, dia mengajakku ke atas bukit. Oya, ada satu bukit kecil di pantai itu. Dia menggendongku menujunya. Kami tertawa lepas. Sesekali bernyanyi. Sesampainya di atas puncak, kami menatap laut. Larut dalam imajinasi masing-masing. Lagi dan lagi tanpa bicara. Akhirnya, rombongan salah satu universitas swasta di Bandung tiba. Itu pun hanya 18 orang. Mereka ramai bersuka cita dan langsung sibuk dengan papan selancarnya. Bising di bawah bukit. Kami? Membisu. Hanya sesekali saling menatap dan menggenggam erat.
 
Lalu dia bercerita, dua tahun lalu di belakang bukit masih ada pasar masyarakat setempat. Namun, kini tinggal puing. Katanya, ada kebakaran beberapa minggu lalu. Aku pun melihat keheningan yang dipaksa di sela reruntuhannya. Sedikit kami berdiskusi tentang pemerintah dan perilakunya yang biasa membakar pasar tradisional dengan bangunan baru hasil pesanan investor. Pantai itu hanya memiliki tiga hotel kecil. Namun, sekarang dua di antaranya dimiliki orang asing yang tentu bertarif mahal. Tidak seperti tahun-tahun lalu saat masih dimiliki penduduk. Hanya tinggal sebuah restoran kecil milik salah seorang warga yang tersisa. Harganya pun berbanding terbalik dengan hotel-hotel itu.
 
Dia menatapku. Tahun demi tahun terlewati, namun aku enggan menarik kesunyian hadir ketika suatu saat kita jauh, katanya. Dia mencium tanganku dan mengajakku berdiri. Langsung menatap mercusuar yang gagah berdiri di tengah. Dia mengajakku berenang menuju tempat itu. Seperti anak-anak yang tak peduli akan jeram, tapi mereka tahu di sanalah surga, sahutnya. Dia memelukku sebentar, kemudian berlari ke bawah bukit dan menantangku untuk mengejarnya.
 
Malam itu bulan penuh. Terima kasih kepada Sang Pecinta atas kejutan demi kejutan yang ada hari ini. Tidurlah, lelakiku. Esok ilusi kita usai, tapi mimpi yang kita simpan menyatu dalam naungan kesederhanaan yang kau ajarkan padaku. Kau dan aku sama-sama hilang. Tak terpisah. Kita satu dalam entitas-Nya yang tunggal. Agung. Mengagumkan. Dalam cinta. Dalam cahaya tanpa warna. Tanpa gundah. Hanya melodi.
 
Selamat malam, lelakiku. Aku bangunkanmu esok pagi. Ilusi ‘kan terhenti. Aku ingin satu malam saja menutupnya dengan bercinta menuju samuderamu. Atau mungkin ilusi kita tak pernah usai sebelum singgah di Bunaken dan berkeliling Sentani? Atau bahkan lebih dari itu…

 
*waktu itu untuk pertama kalinya saya menangis di depan seorang laki-laki atas letupan nuansa. Pertama kalinya saya mempunyai dokumentasi lengkap dalam perjalanan bersama kaum Adam. Pertama kalinya saya dihadiahi video klip Plain White’s, Let Me Take You There. Pertama kalinya saya merasa utuh sekaligus tidak berdaya atas sentuhannya. I know a place that we can go to. A place that no one knows you. They won’t know who we are. Let me take you there. I wanna take you there.

Atas nama senyawa jiwa dalam jingga bersama senja temaram shahih. Sayup pagut sapamu bergurau dengan dinding tak bernama. Tak perlu nama. Atas mahkota yang terdekap, kerajaanku menyatu dengan simpul kegaiban jagat raya di matamu, lelakiku.
 

Bandung, 4 Juni 2010

Sepenggal Bias

Sejenak berbicara dengan diri sendiri malam tadi. Mengulang senyap yang bermuara pada kegamangan berilusi. Mengurai petaka yang katanya ribut di atas kain-kain putih atas nama. Bagiku bukan gurauan dari hati. Bukan pula permainan dengan garis-garis Tuhan. Ini keinginanku untuk bercinta dengannya. Bergumul dengan tembaga-tembaga usang yang mencoba menyentuh sisi-sisi keperempuananku.
 
Baru tadi malam. Aku menyentuhnya dengan hasrat yang terukur di petak-petak kuning dan jingga. Sebentar saja larut dalam imajinasi. Membuka kancingnya perlahan dan membungkam malam. Mungkin ini nista yang belajar dari ruang-ruang senyum. Aku dengan baju hitam dan dia dengan kemeja putih melonggarkan dasi. Mari, aku simpan untukmu. Kau pun genggam tanganku dan mencoba menelisik ada apa di balik gaunku yang tipis. Meraba kembali jemari kiriku yang dulu kau hias dengan lingkaran bersenandung.
 
Aku menunduk. Jangan tuduh aku dengan hasrat jalang. Bukan itu, lelakiku. Utuh. Seperti katamu waktu itu, persembahan nirwana demi samsara dan moksa. Aku menjadi perempuan yang menggandeng tanganmu. Aku tak mau lagi menunggu. Aku ingin malam ini. Tersendat dan mulai tercekat. Aku menangis lagi. Pelukanmu lagi dan lagi membuatku luluh dari keangkuhan yang selalu mengiringi tatapanku.
 
Malam ini. Tapi, katamu, kita akan bercinta di pantai. Dengan ombak dan angin pagi. Dengan mentari yang malu dan pelan-pelan muncul. Lalu kita berkeringat. Aku tahu terlalu dini bagi kita, lelakiku. Aku tahu kau juga inginkan itu. Bukan tentang hewan yang memanas dan melanjutkan hidup. Tapi, kita bercinta untuk hidup. Untuk merasakan julur-julur keindahan di tiap inchi tubuh yang menjadi cermin atas cinta yang melekat dan enggan pergi. Cinta yang bergelayut manja kala kita sama-sama terengah.
 
Aku ingin membungkam langit. Menghentikan hujan. Menyandera ilusi. Merekam tiap jejak kita yang menembus pasir-pasir pantai kala aku mengaduh atas tiap cumbuanmu yang menyantuni mutiara taman hati. Yang membongkar lemari besi dan hanya kau yang aku beri tahu sandinya. Disini, lelakiku. Masih menangis sambil merajut puing titisan cinta yang kita pupuk bersama. Aku ingat katamu dini hari itu. Kau masih menatapku lelah dan bersuara parau. Kau mulai berpuisi, senandung langit bukan untukku, tapi untuk kegaiban jagat raya di matamu. Mari bercinta denganku dan menyatu dengan samudera...

 
*terilhami dari pernyataan Elvira Spain, I'm not leaving, you're not staying..
 
Persembahan nirwana demi samsara dan moksa untuk mentari rinduku atas kesetiaannya berlayar dan merasuk palung dengan dekap dini hari. Lingkaranku lingkaranmu menuju genap lingkaran purnama kesebelas. Hitungan mundur dan aku menyepi. Je t'aime, toi.


Bandung, 21 Mei 2010

Demi Langit-14

Hipokritas ketimuran adalah sesuatu yang menarik perhatian saya sejak beberapa tahun lalu. Fenomena sosial yang ada membuat saya mempertanyakan kembali persoalan moral yang dianut bangsa kita. Bangsa yang terletak di bagian timur dunia. Bangsa yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai. Bangsa yang katanya memegang teguh prinsip teologis. Lantas, ketika ide ini diverifikasi, apa yang terjadi? Nilai ketimuran hanya kurikulum formal di sekolah-sekolah tanpa aplikasi nyata. Nilai agama hanya stiker yang ditempel tanpa ada pembuktian konkret yang merekatkan nilai kemanusiaan. Bisa jadi orang berbondong-bondong meninggalkan pesan suci yang tidak tersampaikan ini menjadi bagian dari kesalahan kolektif dari mereka yang konon pemegang estafet risalah teologis.
 
Saya berpikir ulang tentang realitas mengenai pembicaraan basa basi perihal moral. Dalam sebuah masalah pasti ada yang salah. Dalam tindakan yang salah pastilah ada gagasan yang salah pula. Lalu, gagasan salah kebangsaan dan keberagamaan kita bermuara dimana? Pertanyaan sederhana yang membutuhkan analisis pelik. Penyimpangan perilaku terjadi secara merata, kawan. Ada apa dengan pola pikir bangsa kita? Di satu sisi kita masih berbicara tentang kolektivitas moral, namun di sisi lain kita pun memiliki pergeseran budaya akut. Kita mulai individualis. Ketidakpekaan sosial terjadi sebegitu mengerikan. Kita tidak lagi peduli. Cobalah kita tengok kota-kota besar dengan segala macam perilaku individunya yang bahkan orang barat pun tidak demikian. Semua orang dipacu waktu, namun lupa akan kondisi masyarakat. Ada apa dengan norma ketimuran kita? Norma yang hanya sebatas label tanpa makna dan nilai lagi. Ini bukan lagi memalukan, tapi juga memilukan.
 
Mari kita lihat vulgarnya peran media membuat propaganda sampah yang tidak bernilai. Kita dicekoki dengan acara-acara tidak bermutu. Kita dibuat gelisah dan berakhir pada ketidakpedulian terhadap kondisi bangsa. Masyarakat mandiri dalam opini berkualitas tinggi dengan analisis tajam hanyalah mimpi agung. Pendidikan yang terpuruk menyebabkan buntunya pola pikir dan kemandulan kreativitas. Para pengajar melupakan peran pendidik. Bisa jadi para pengajar dan pendidik kita memilih profesi demikian sebagai bentuk frustasi individu karena tidak ada lagi pilihan lain. Sehingga yang terjadi adalah kehilangan arahnya anak bangsa. Kita disorientasi.
 
Mari kita ulas awal kejengahan intelektual ini. Sejak kecil kita tidak diperkenalkan dengan kebebasan berpikir. Kita dianggap kertas putih yang siap dicoret segala macam kontaminasi. Kita tidak dianggap sebagai bibit unggul. Ada pola yang menarik jika kita bandingkan dengan pendidikan di barat sana. Sejak bayi mereka memiliki kamar sendiri. Ketika pun anaknya mulai bisa memegang sendok sendiri, mereka dibuat sejajar di meja makan. Acara makan bersama tentu memiliki suguhan obrolan aktivitas sehari-hari. Mereka terbiasa merekam kegiatan itu, sehingga ada pola pertumbuhan kebebasan berpendapat. Ketika mereka masuk sekolah, mereka ditawarkan untuk memilih pelajaran yang sesuai dengan minat dan bakat. Masuk waktu tidur, mereka membacakan cerita untuk anaknya dan terjadilah dialog mengenai dongeng tersebut. Jika orang tuanya pergi dari rumah, mereka hanya mengucapkan dua hal; take care yourself and I love you. Mereka dibuat percaya diri atas cinta yang diberikan dengan sebuah tanggungjawab. Tidakkah pesan itu menakjubkan? Lepas dari sekolah menengah, mereka mulai meninggalkan rumah. Ada nuansa kebebasan berpikir dan semangat kesetaraan yang begitu manusiawi.
 
Sekarang mari kita bercermin tentang bangsa kita. Sejak bayi, kita dibiasakan digendong jika menangis. Masuk usia balita kita dikejar-kejar sekedar untuk makan. Tidakkah kita melihat bahwa ini adalah simbol superioritas yang nyata? Masuk waktu tidur, orang tua menakut-nakuti tentang segala macam mitos agar kita cepat tidur. Jika orang tua pergi dari rumah, kita disuguhui seribu macam larangan. Di usia sekolah kita harus menyerap sekian banyak pelajaran tanpa bisa memilih. Ini terjadi hingga penjurusan kuliah. Jurusan tidak memiliki signifikansi pembeda. Kita harus melahap seluruh mata kuliah. Hasilnya? Kita tidak pernah memiliki ahli dalam bidang apa pun. Para pengajar adalah dewa dengan abosultisme luar biasa yang anti kritik dan anti dialog. Tidak mengherankan hingga masa dewasa datang, kita bingung menentukan pilihan. Apa pun harus lewat restu orang tua. Seringkali izin itu pun tidak masuk akal. Tidak ada yang boleh menyanggah mereka. Nilai kemanusiaan dan pola pikir apa yang kita dapat? Inferioritas. Hanya itu.
 
Mari kita akumulasikan keburukan pendidikan kita. Mahasiswa menjadi oportunis dengan bermodalkan kedekatan emosional dengan dosen untuk mendapatkan nilai bagus. Kita tidak terbiasa dengan dialog, kawan. Ini menyedihkan! Kita tidak terbiasa membuka pikiran dengan beradu argumen, sehingga menghasilkan pendidikan yang sehat. Orang cerdas dengan pemikiran berbeda harus siap diasingkan. Orang dengan pola pikir mandiri harus berani teralienasi dengan mata kuliah yang sulit lulus. Saat kelulusan tiba, tidaklah mengherankan kita terjebak menjadi buruh tanpa keahlian bidang studi apa pun. Masalah pengangguran menjadi pekerjaan tahunan pemerintah yang terus dikaji ulang. Ini sistem yang amburadul, kawan! Kita tidak terbiasa melakukan tindakan antisipatif yang buruknya ini pun terjadi di lingkungan pemerintah kita.
 
Pendidikan kita kehilangan arah. Kurikulum terus berganti tiap tahun. Standar internasional menjadi acuan, sedangkan kita tidak memiliki perangkat yang memadai untuk hal itu. Pantaslah kita tidak memiliki harga diri sebagai bangsa. Pantaslah kita hanya menjadi kacung di negara sendiri. Atas dasar inilah kita kehilangan jati diri kebangsaan. Kita kehilangan kendali. Kita lupa ada tumpah darah yang dipertaruhkan demi kemajuan ibu pertiwi. Kita hanya jatuh pada angan-angan masa lalu tentang label ketimuran dan stiker keberagamaan tanpa implementasi yang jelas. Kita menjadi bangsa yang gamang akan identitasnya. Kita tidak tahu akan kearifan budi pekerti asli bangsa karena ruang dialog yang bernuansa pendidikan dalam bidang apa pun begitu tertutup dan haram untuk dilakukan.
 
Entah berasal dari mana pembodohan masal ini. Sebagai orang yang beragama kita sering diajari berani mati tanpa dididik berani hidup. Tujuan kita melangit tentang kehidupan setelah kematian. Kita tidak pernah dibuat memahami kehidupan. Kita menegasikan pentingnya pendidikan hidup di universitas semesta raya ini. Mari kita mengheningkan cipta.  


Bandung, 15 Desember 2011