Wajahnya menua, badannya berubah kurus. Dengan jaket hitam yang di dalamnya terdapat t-shirt biru, celana jins, dan topi cokelat. Potongan rambut dan wangi parfum yang masih sama. Ketukan pintu pagi sekali memaksaku mengenali tubuh pria itu. Ternyata itu kau.
Aku tergesa mencuci muka. Sesekali membentak diri sendiri untuk bangun, saat menggosok gigi sekedar mempercayai sesuatu yang tengah terjadi.
Aku membuatkanmu teh karena kau tak suka kopi, bukan? Canggung ikut serta di suara-suara burung dekat jendela. Tak lama, aroma teh dan kopi tercium. Pukul enam lebih dua puluh menit. Pagi sekali seperti kebiasaanmu dulu yang mengejutkan. Hanya saja ini bukan Sabtu. Baru hari Selasa.
Kita terdiam. Tiga puluh menit yang kaku berlalu perlahan. Barangkali kita masih saling tak menyangka. Aku mengirimkan pesan singkat pada seorang kawan. Ya, kawan yang tahu betul cerita kita. He looks older, begitu isinya.
Kau duduk gusar. Aku bergeser menjauh dan menyalakan rokok. Kita bicara sedikit tentang Gerard, anjingku. Gerard sudah menyatu dengan bumi hampir dua tahun yang lalu. Kau senang bermain dengannya dulu. Kau selalu membiarkannya menaiki tubuhmu dan menjilati wajahmu. Setelah itu, aku akan menyuruhmu mandi. Membersihkan bajumu yang dihinggapi bulunya yang cokelat keemasan. Menyiapkan bajumu yang lain dari lemari karena kau menyimpan cukup banyak baju di tempat tinggalku, bukan? Itu dulu. Empat tahun yang lalu.
Tiga puluh menit selanjutnya kita mulai tertawa. Namun, kau tahu cara menghentikannya. Kau mulai menatapku penuh. Aku barangkali bodoh karena mendadak bertingkah seperti perawan tahun ‘60an yang tak bisa didekati laki-laki. Aku gugup. Ya, hanya kau yang bisa membuatku bertingkah sedungu itu. “Si mie mie dor de tine”, begitu katamu. Kalimat dalam Bahasa Rumania yang dulu sering aku dengar kini terulang lagi. “Apa kabar, Burt?”. Lagi-lagi kau meniru suara Ernie. Ah, Sesame Street yang kita cintai itu selalu ikut hadir di tiap percakapan yang tak penting, bukan? Kau tahu cara mencabik dalam senyuman, lelakiku.
Aku masih gugup, aku ulangi itu! Aku tersenyum bukan hanya menutupi kegugupan tolol ini, namun juga karena menahan sesuatu yang entah harus aku namai apa. Seperti hentakan cepat, aku menahan nafas, kala aku merasakan bibirmu di bibirku. Ciuman sekilas yang seolah mematikan lampu kamar dan menyeret kita ke petak kuning dan jingga. Kamarku yang dulu. Kita belum lupa akan rasa yang dikira mati. Oh, tidak. Terendap itu bukan mati, lelakiku. Aku merasa utuh, namun tak berdaya. Ada yang mengusik diri. Meluap. Menghantam dahsyat. Perih. Tapi ada pula percik bahagia yang di sana. Hanya kau. Lagi-lagi kau yang sanggup membuatku mengaduk seluruh rasa.
Lalu, kedua kalinya aku merasakan bibirmu lagi. Kali ini terasa lebih hangat. Tentu aku membalasnya. Tak lama kita pun berbaring bersama di tempat tidur. Memandangi langit-langit. Sesekali tersenyum dan mengerling genit. Ketika aku menghadapkan tubuhku dan mendekatkannya padamu, pikiranku pergi sejenak. Apakah ini kau yang dulu berpuisi dalam malam dan mengirimku lagu-lagu sambil kita berbincang di telepon? Keningmu yang lebar, bibirmu yang tipis, hidungmu yang mancung, tatapmu yang teduh. Semua masih sama.
Kau mengusap rambutku. Mencoba menerka. Seperti tak bosan melakukannya, kita saling memagut. Lagi dan lagi. Hanya saja kali ini tak ada baju yang terlempar ke lantai. Hasrat manusiawi, luapan rasa yang masih ada atau gabungan keduanya, aku tak peduli. Masih pagi, lelakiku. Baru saja pukul delapan lebih empat puluh menit. Kau berkata sengaja cuti lebih awal dan hari ini kau hanya ingin menemuiku. Aku ingat, dulu aku sempat tak ujian dan kau tak bekerja hanya karena kita ingin bermanja. Orang boleh berkata bahwa kita bodoh, namun kita tak peduli, bukan? Ini cerita milik kita, bukan mereka.
Jam sepuluh lebih empat puluh delapan menit. Pesan singkat kawanku itu baru berbalas. Entah apa dalam pikirnya. Dia tak menanggapi serius. Namun, satu hal yang membuatku tertegun saat salah satu isinya tentang keheranan, “lagian kalian ini ya. Kagak ngarti gue. You love him, he loves you back equally, jadi ngapain jujumpalitan masuk labirin?? Kagak ada bypass apa?” Andai bisa semudah itu, lelakiku. Kita sama-sama tersenyum membacanya. Entah apa makna senyum itu. Kau hanya berkata, “she doesn’t need to understand”. Ada nada tinggi dalam pengulangan tanda baca. Ada tiga tanda tanya di pesan itu.
Aku tahu kau tak tidur semalam. Sesekali matamu sayu dan suaramu parau. Perlahan kau tertidur. Memelukmu dalam hangat mentari pagi. Ah, suasana ini begitu mencuri hati. Sering sekali kita lakukan itu dulu. Ini surga kecilku. Dia tahu apa yang tak terucap. Dia melihat sepasang manusia yang terpisah empat tahun lalu. Kemudian bertemu. Mencicipi sebentar nuansa baru ruangan yang sejuk dengan matahari pagi yang malu-malu dan burung gereja yang gaduh. Menggabungkan wangi parfum. Menyatukan rasa dalam cumbuan hangat. Menidurkan sekejap ilusi dan mimpi buruk.
You look older. Ada apa dengan ceritamu belakangan, Tuan? Adakah hati di sana? Nafasmu terasa lagi di wajahku saat kau tertidur. Detakmu jelas di lenganku yang memelukmu. Kali ini tak erat. Masih ingatkah kau dengan prosaku dulu? Ah, kau tepati janjimu rupanya. Empat tahun berlalu dan kini kau di sampingku. Jika pulang nanti, sampaikan puisiku pada ibumu. Semoga dia tahu makna menunggu.
*terinspirasi ketukan pintu pagi hari dan catatan kecil yang ditemani lagu cantik Coleske - My Only.
Tulisan sambutan untuk puisi agung karya Sitok Srengenge :
Jika tak mampu kau ucapkan, tulis aku
Mungkin sebagai surat cinta yang menyeru rindu
Atau alasan bagus untuk mangkir dari kerja
demi percumbuan kudus pada paha Selasa
Sebab bila di pagi itu meriwis gerai gerimis
suara-suara yang dipingit langit pun terurai desis
Sebagian dari mereka mungkin gema erang Hawa,
kala Adam memagut buah terlarang kali pertama
Terima kasih tak terkira untuk salah satu teman baik saya, Sari Amelia, atas kesetiaannya pada cerita kami selama empat tahun ini. Tuhan memberkati!
Bandung, 14 Agustus 2012